Saatnya semua kalangan berdiri melawan ke bohongan politik para penyelenggara negara. Kebenaran segera datang, kebohongan akan sirna, dan sesungguhnya kebohongan itu pasti akan binasa!
Oleh Yudi Latif
Ketegangan kolosal di seputar rencana kenaikan harga BBM memaksa kepalsuan menunjukan wajah aslinya. Selama ini pemerintah berargumen bahwa subsidi BBM lebih menguntungkan kalangan menengah atas. Faktanya, rencana kenaikan harga BBM justru mendapatkan penolakan yang mahahebat dari kalangan mahasiswa, buruh, petani, ibu-ibu rumah tang ga, dan rakyat miskin lainnya.
Apakah mereka sedemikian bodoh menolak sesuatu yang merugikan dirinya sendiri? Bagi orang-orang miskin, kenaikan harga BBM pasti secara segera mencekik kehidupan mereka. Bahkan, ketika kenaikan baru direncanakan harga-harga telah melambung tinggi, menggusur kembali kesepakatan kenaikan upah minimum yang belum sepenuhnya ditunaikan.
Sedangkan, rencana pemerintah memberikan bantuan langsung tunai memerlukan jangka waktu dan belum tentu menjangkau semua rakyat kecil. Alhasil, argumen populisme pemerintah itu tampak mulia di atas kertas, tetapi tak sesuai dengan kenyataan.
Argumen pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebagai satu-satunya solusi menutupi potensi defisit keuangan negara juga mengungkap kepalsuan yang lain. Bukankah selama ini pemerintah sering mengklaim capaian-capaiannya dalam pembangunan ekonomi? Jika benar kondisi makroekonomi kita sehat, mengapa APBN kita begitu rentan terhadap fluktuasi harga internasional BBM?
Dari kealotan tarik ulur kepentingan di Senayan juga segera tersingkap, betapa partai pemerintah sebagai pemenang pemilu yang fantastis justru seperti ragu dengan kemenangannya. Partai Demokrat tak pernah mampu memimpin partai-partai koalisi dalam menentukan kebijakan pemerintah. Partai ini selalu saja menjadi bulan-bulanan “manuver kepentingan” partai-partai lainnya, yang pada akhirnya tunduk pada formula “pemain besar” dalam koalisi.
Gelombang demonstrasi yang mahagigih juga memberi ujian sesungguhnya atas kesejatian demokrasi kita. Di mimbar-mimbar pencitraan, pemerintah kerap membanggakan capaian Indonesia sebagi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kenyataannya, nilai-nilai substantif demokrasi yang berdimensi penghormatan pada hak-hak sipil dan politik masih dilanggar.
Cara polisi menangani demonstrasi yang terkesan menikmati penggunaan praktik-praktik kekerasan menunjukkan hingga tingkat mana nilai-nilai substantif demokrasi berkembang di negara ini.
Akhirnya, dari drama ketegangan di seputar rencana kenaikan harga BBM juga tampak, betapa pemerintah yang kerap memanjakan kepentingan-kepentingan elitis demi mengompen sasikan kelemahan kekuasaannya harus dibayar mahal oleh penderintaan rakyat dan kedaulatan negara dalam jangka panjang.
Setelah aksi demi aksi yang menguras energi, menorehkan luka, dan mencucurkan ke ringat dan air mata, barulah presiden tampil bak juru selamat dengan pidato heroiknya: “Kenaikkan harga BBM sebagai opsi terakhir”.
Di sini terlihat, pemerintah yang tidak mau berkeringat sehingga menjadikan kenaikan harga BBM sebagai satu-satunya solusi untuk menutupi potensi defisit anggaran justru di ujung drama pertikaian dan kepedihan terkesan ingin tampil sebagai pahlawan. Betapa keringat dan air mata rakyat miskin dijadikan bahan mainan bagi suatu drama kepalsuan.
Bahasa politik menjadi siasat untuk membuat kebohongan terkesan kebenaran, kelambanan terkesan kehati-hatian, ketidakbertanggungjawaban terkesan ketidakintervensian, ketidakseriusan terkesan kesabaran, ketidakmampuan terkesan ketergangguan, dan pengkhianatan terkesan sebagai korban.
“Kebohongan” untuk tujuan kebaikan memang dimungkinkan dalam politik. Akan tetapi, kedunguan politik terjadi manakala pemimpin percaya bahwa rakyat selalu bisa dibohongi. Konsistensi dalam inkonsistensi akan menimbulkan sikap apriori pada diri rakyat, bahwa apa pun ucapan pemimpin, sekalipun sekali-kali ada benarnya, akan dipandang sebagai kebohongan.
Negara ini tak bisa dipimpin oleh kebohongan. Sekali kita menggunakan kebohongan sebagai cara meraih dan mempertahankan kekuasaan, manipulasi, dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktik memimpin. Hasil akhir tindak kebohongan ini adalah pengabaian rakyat dan ketidakpercayaan secara berkelanjutan.
Usaha pemulihan krisis negara ini harus menyentuh simpul terlemah yang menjadi pangkal kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad dalam jalan pertobatan hal-hal negatif masih bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan “kebohongan”. Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.
Saatnya semua kalangan berdiri melawan ke bohongan politik para penyelenggara negara. Kebenaran segera datang, kebohongan akan sirna, dan sesungguhnya kebohongan itu pasti akan binasa!
sumber : pkspiyungan.org