Kamis, 24 Januari 2013

Seratus Hari


Sugih Hartanto
23 Januari 2013 jam 01:39

HARI Rabu (23/1/2013) tepat 100 hari Jokowi memimpin DKI. 100 hari pertama sering disebut-sebut sebagai tolok ukur keberhasilan seorang pemimpin baru. Karena itu, biasanya 100 hari pertama sering masuk dalam daftar janji-janji kampanye. 

Jokowi sendiri, hari ini membantah bahwa dia punya program 100 hari pertama. Padahal, sebelum ini dia tidak pernah membantah. Bahkan, sejumlah media dengan rajinnya memberitakan masa 100 hari pertama ini dengan aktivitas hari ke hari Jokowi. Menariknya, mayoritas pemberitaan yang muncul bernuansa positif. 

Jokowi mungkin memang tak pernah mengungkapkan soal program 100 harinya. Tetapi, tanyakan saja pada Google yang tak pernah berdusta. Sangat banyak catatan tentang program 100 hari pertama yang bersumber dari wakilnya, Ahok. Tak ada pula hasil pencarian yang menyebutkan Jokowi membantah punya program 100 hari, sebelum ini. 

Janji adalah janji. Janji Ahok, juga jadi janji Jokowi. Karena Gubernur dan Wakil Gubernur tak terpisahkan. Beberapa janji memang sudah terlihat berupaya dipenuhi. Sebut saja soal Kartu Jakarta Sehat (KJS). Ini sebuah terobosan yang hebat dan patut diacungi jempol. Sayangnya, program ini terkesan dipaksakan.

Sejak KJS diluncurkan, jumlah pasien di rumah sakit dan puskesmas meningkat 2,5 kali lipat. Akibatnya, SDM pelayanan medis pun kewalahan. Ujung-ujungnya, banyak pasien yang telantar dan tak mendapat pelayanan. 

Di luar itu, gebrakan-gebrakan 100 hari Jokowi-Ahok memang menarik. Sebut saja soal seragam pegawai Pemda DKI dengan pakaian adat Betawi. Atau, "laporan" Ahok via Youtube ketika melayani para pengunjukrasa atau memarah-marahi jajaran dinas di bawahnya. 

Hal-hal semacam ini memang menarik bagi media-media mainstream. Sesuatu yang "berbeda dari biasanya" tentu saja punya nilai berita lebih. Apalagi, Jokowi memang jadi media darling (baca: kesayangannya media) sejak mempromosikan mobil Esemka. Segala yang dilakukan Jokowi selalu jadi sorotan media dengan ulasan positif. 

Kecintaan media yang luar biasa terhadap Jokowi ini pula yang menjadi salah satu faktor pendukung kemenangan pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI. Tetapi, cinta bisa berakhir kapan saja. Suatu saat, cinta media kepada pasangan ini akan berakhir, jika Jokowi-Ahok tak mampu menjaganya dengan baik. 

Hal yang menonjol lainnya dari 100 hari pertama Jokowi adalah aksi blusukannya. Istilah dari bahasa Jawa ini tiba-tiba jadi sangat populer di negeri ini. Pasalnya, media-media mainstream dengan hebohnya memberitakan aksi Jokowi berkunjung ke tempat-tempat kumuh alias blusukan. 

Padahal, Jokowi bukanlah orang atau pemimpin yang pertama kali melakukan itu. Kisah blusukannya Khalifah Umar bin Khaththab sambil memanggul karung berisi gandum untuk rakyatnya, semua muslimin sudah pernah mendengar. Di era Soekarno, beliau pun kondang sering melakukan kunjungan incognito. Di Yogya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dikabarkan suka tiba-tiba duduk makan bareng rakyatnya di warung kecil dan mendengarkan langsung keluh kesah wong cilik. Dan banyak lagi kisah blusukannya pemimpin-pemimpin terdahulu. Tetapi, lagi-lagi karena Jokowi sedang dicintai media, hal itu jadi dikesankan sebagai hal yang istimewa. 

Wajar jika sejumlah politisi menilai langkah Jokowi-Ahok di 100 hari pertamanya lebih dominan ke aksi-aksi pencitraan. Belum serius menepati janji-janji kampanyenya untuk menghadirkan Jakarta Baru. 

Hal ini terlihat betul ketika banjir besar melanda Jakarta sejak Kamis (17/1). Pemprov DKI terlihat betul-betul kewalahan dan tidak siap menghadapinya. Banjir besar saat ini adalah warisan kekeliruan tata ruang puluhan tahun. Memang bukan porsi Jokowi-Ahok untuk mencegahnya. Namun, tak terlihat langkah-langkah memadai sebagai respons tanggap darurat setelah korban berjatuhan dan pengungsi berhamburan.

Tentu saja, pemimpin manapun sebetulnya tak perlu membuat perencanaan 100 hari pertama. Di samping tak diatur oleh undang-undang, program 100 hari pertama justru akan mendatangkan kerepotan tersendiri baginya. Menilai kinerja eksekutif dalam waktu 100 hari adalah sesuatu yang tidak realistis. 

Tetapi, kalau sudah telanjur terucap, itu menjadi janji yang harus dipenuhi.

illustrasi: syaisya