Selasa, 08 Mei 2012

Tentang buku "Dilema PKS" (Lagi)

Perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada pemilu 2004 dan 2009 terbilang fenomenal dibanding partai Islam lain.


Di tengah merosotnya perolehan suara partai Islam, PKS mampu mendongkrak suara dari 1,4 (1999) ke 7,3 (2004) dan 7,9 (2009). Namun, rupanya tak mudah bagi PKS untuk menegosiasikan antara performa keterpilihan dan representasi basis sosial partai. PKS bak berada di dua persimpangan jalan: mempertahankan segmen pemilih tradisional atau merebut segmen pemilih baru. Itulah kira-kira pesan utama yang saya tangkap setelah membaca buku Dilema PKS: Suara dan Syariah karya Burhanuddin Muhtadi.

Buku yang diangkat dari subtesis Burhanuddin pada TheAustralian National University mengajukan dua pertanyaan penting. Pertama, bagaimana PKS menegosiasikan antara performa elektoral dan representasi basis sosial partai? Kedua, faktor apakah yang menentukan survival politik PKS di masa depan? Untuk menjawab kedua pertanyaan itu Burhan memulai dengan menganalisis perilaku dan genealogi PKS melalui teori gerakan sosial (social movement theory). Penggunaan teori gerakan sosial membantu pembaca untuk melihat bagaimana positioning politik PKS.

Dalam buku ini Burhan menunjukkan bahwa di internal PKS dikenal sebuah adagium “Al-jama’ah hiya al-hizb wa hizb huwa al-jama’ah (gerakan adalah partai,partai adalah gerakan)”.PKS tidak hanya sebuah partai politik (hizb) semata, tetapi juga sebuah gerakan sosial (harakah). Menurut Burhanuddin, bila PKS dipandang sebagai organisasi gerakan sosial, maka keberadaannya dapat dijelaskan melalui tiga variabel utama dalam teori gerakan sosial: (1) political opportunity structure (struktur kesempatan politik); (2) resource mobilisation (mobilisasi sumber daya); dan (3) collective action frames (pembingkaian aksi kolektif).

Temuan Burhanuddin menunjukkan, pada level struktur kesempatan politik, kelahiran PKS dipengaruhi oleh kondisi geopolitik baik di tingkat internasional maupun domestik. Pada tingkat internasional terjadinya Revolusi Islam Iran dan menguatnya hubungan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dengan Arab Saudi melalui sejumlah program kerja sama seperti pengiriman mahasiswa ke Timur Tengah turut mempengaruhi revitalisasi gerakan Islam di Indonesia.

Jamaah Tarbiyah yang mendapatkan pengaruh dari Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir menjadikan halaqah (pertemuan) dan usrah (jejaring sel) sebagai basis pembinaan kader. Besarnya perhatian PKS dalam kaderisasi dan pembinaan kader tampak dari ketatnya jenjang karier politik di internal PKS mulai dari level tamhidi (pemula), muayyid (muda), muntasib (madya), muntazim (dewasa), ahli, dan paripurna. Untuk melihat bagaimana mobilisasi sumber daya terjadi di internal PKS, Burhan menggunakan pendekatan protesteventanalysis( analis peristiwaprotes) melalui penelusuran pada dua surat kabar (Kompas dan Republika) pada kurun waktu 1980–2007.

Dalam penelitian itu ia menggunakan beberapa indikator, seperti waktu aksi,jenis,dan isu. Terbukanya kesempatan politik melalui reformasi dan tumbangnya rezim Soeharto memberikan kesempatan bagi PKS (sebelumnya Partai Keadilan/ PK) untuk menyurakan platform politik.Temuan Burhanuddin menunjukkan sebagian besar aksi kolektif (mobilisasi massa) dan protes yang dilakukan oleh PK(S) dan Jamaah Tarbiyah berlangsung setelah Mei 1998.

Pada level isu, isu dengan kategori Islamis masih menjadi fokus utama PK(S) pada periode 1980-2007.Sebesar 62,2% isu yang disuarakan PKS adalah isu-isu berkategori Islamis. Adapun isu berkategori non-Islamishanya sebesar25,8%. PKS juga banyak menggunakan isu internasional (48,9%) dibandingkan isu domestik (37,8%).

Transformasi Politik

Menurut penulis,periodisasi waktu penting untuk melihat bagaimana transformasi politik terjadi di internal PKS. PKS mulai melakukan perubahan strategi politik setelah perolehan suara Partai Keadilan (PK) tidak begitu memuaskan pada 1999.Perubahan strategi itu dilakukan PKS dengan mulai menggunakan isu-isu publik seperti clean and good governance, dan antikorupsi.Moderasi politik itu berbuah manis,pada 2004 PKS berhasil melipatgandakan suaranya.

Sayangnya seperti temuan Burhan, diskursus agama masih menjadi concernutama dari pembingkaian aksi kolektif PKS.Isu-isu yang bersifat transnasional seperti sentimen anti- Amerika dan anti-Israel dan konsep Global Ummah (solidaritas Islam sedunia) masih menjadi wacana besar di internal PKS.Padahal,seperti temuan LSI, isu agama tidak berpengaruh besar terhadap pilihan publik.

Meski terjadi resistensi di internal terhadap keinginan PKS menjadi partai terbuka, seperti ditulis Anis Matta dalam pengantar buku itu, Burhanuddin menunjukkan bahwa kebutuhan elektoral telah ”memaksa” PKS untuk bersikap moderat. 

Arya Fernandes,
Fellow pada Paramadina Graduate School of Political Communication


*sindoedisi cetak 29/4/12