Jumat, 01 Juni 2012

Ketika Kalung Fatimah Membuat Rasulullah Marah



Kehidupan Fatimah bersama Ali sangatlah sederhana. Mereka tak memiliki perabot rumah tangga kecuali alat memasak saja. Mereka tak memiliki kasur kecuali sebuah "kasur" tipis terbuat dari jerami gandum yang dibungkus kain kasar. Fatimah pun tak memiliki perhiasan kecuali sebuah kalung emas yang sudah lama dan jarang dikenakannya.

Suatu hari Fatimah datang kepada Rasulullah SAW. Wanita mulia bergelar Az-Zahra itu mengucap salam dan meminta izin untuk masuk. Setelah Rasulullah mempersilakan, betapa bahagianya Fatimah berada di dekat sang ayah. Keduanya berbincang dengan ceria. Wajah keduanya berbinar bahagia, laksana terobatinya kerinduan karena lama tak berjumpa.

Tiba-tiba, air muka Rasulullah berubah ketika beliau tahu Fatimah mengenakan kalung emas di lehernya. Fatimah mengerti bahwa ayahnya sedang marah.

Fatimah tak kuasa berkata apa-apa. Ia keluar dari kediaman Rasulullah dengan kesedihan yang menyesakkan dada. Selama ini Fatimah tak rela ada orang yang membuat Rasulullah marah atau sedih. Namun kini, dirinya yang membuat sang Nabi berduka? Gara-gara kalung butut itu?

Fatimah tak perlu waktu lama untuk menimbang. Kalung itu tak boleh ia pakai, tak boleh ia miliki lagi. Lalu dikemanakan? Apakah dijual dan dibelikan budak agar bisa membantunya? Karena selama ini Fatimah sendiri yang mencuci, memasak dan menggiling gandum. Sebenarnya fisik Fatimah lelah. Namun Fatimah khawatir Rasulullah tidak berkenan. Apalagi budak itu nanti akan mengingatkan Rasulullah pada kalung itu.

Akhirnya Fatimah memutuskan menjual kalung itu. Uangnya ia belikan budak. Tetapi bukan untuk membantunya. Setelah dibeli, budak itu segera dimerdekakannya.

Kini Fatimah kembali menghadap Sang Nabi. Sebelum Rasulullah bertanya, Fatimah mendahuluinya dengan memberikan laporan.

"Aku telah menjual kalung itu," Fatimah berkata kepada Rasulullah yang serius mendengarkannya, "dan uangnya kupergunakan untuk membeli budak yang kemudian kumerdekakan."

Seketika wajah Sang Nabi berseri-seri. Keceriaan dan kebahagiaan kembali menghiasi wajah Rasulullah yang suci.

Demikianlah sebuah fragmen dalam kehidupan Fatimah, kehidupan keluarga Nabi. Rasulullah SAW mendidik keluarganya untuk hidup sederhana. Menjadikan keluarganya sebagai teladan dalam segala hal, termasuk kesederhanaan.

Demikianlah pemimpin terbaik mengambil jalan hidup, dan memastikan jalan hidup itu juga ditempuh keluarganya.

Karenanya, Rasulullah dan keluarganya sangat dicintai sahabat dan umatnya. Tak pernah ada dalam sejarah ada sahabat yang iri dengan Rasulullah dan keluarganya dalam masalah dunia. Tak pernah ada orang yang mempertanyakan kekayaan Rasulullah dan keluarganya, karena mereka bukanlah orang kaya, justru hidupnya sangat sederhana. Tak pernah ada orang yang curiga dengan keikhlasan Rasulullah dalam memimpin dan berjuang, karena mereka tahu Rasulullah tak pernah mengambil keuntungan pribadi atau memperkaya keluarganya. Mereka tsiqoh kepada Rasulullah.

Jika Hasan Al Banna mengatakan bahwa tsiqoh adalah rasa puasnya seorang jundi kepada qiyadahnya dalam hal kemampuan dan keikhlasan, sungguh para sahabat sangat puas dengan Rasulullah. Puas dengan kepuasan yang sempurna. Tsiqoh dengan ke-tsiqoh-an yang sempurna.

Ke-tsiqoh-an seorang jundi, seorang anggota, seorang rakyat, kepada pemimpinnya salah satunya ditentukan oleh faktor itu: gaya hidup dan sikapnya soal harta untuk diri dan keluarga. Bahkan kurang apa pemimpin sehebat dan semulia Utsman bin Affan? Beliau dermawan dan hidup sederhana. Tetapi karena keluarga besarnya, yang ia percaya membantunya menjadi pejabat-pejabat negara, bergaya hidup mewah, Utsman terkena fitnah.

Lalu jika pemimpin sekarang tidak sebaik Utsman, bisakah ia selamat dari fitnah yang sama, bahkan lebih besar? Itulah susahnya menjadi pemimpin. Tetapi itu pula jalan keutamaan yang luar biasa: menjadi pribadi teladan dan mengkondisikan keluarga menjadi teladan pula, termasuk dalam kesederhanaan. Sederhana di zaman sekarang tentu tidak dituntut sampai pada level kesederhanaan Rasulullah dan Fatimah. Siapa yang mampu sehebat itu? Tetapi cukuplah jika ia sederhana dalam ukuran zaman sekarang; tidak bergaya hidup mewah dan tidak glamour dalam kekayaan di tengah rakyat yang terhimpit kesusahan.