PKS Tapos - Perjalanan Ikhwanul Muslimin mencapai puncak piramida politik Mesir tidaklah mudah. Berbagai peristiwa yang provokatif, konspiratif, bahkan dinilai sebagai kudeta terselubung, menyertainya. Tapi, toh, Ikhwanul Muslimin tak terbendung.
Upaya penggagalan tersebut terlihat intensif dan sistematis pascakemenangan Ikhwanul Muslimin dalam pemilu parlemen. Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (the Supreme Council of the Armed Force/SCAF) bersama Mahkamah Konstitusi (MK) dan para hakim agungnya, melakukan move-move politiskonspiratif yang mengatasnamakan hukum dan konstitusi.
Pertama, diskualifikasi Khairat el-Shater, calon presiden kharismatis yang diusung Ikhwanul Muslimin. Alasannya, Khairat masih ber status terpidana politik era Mubarak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mendiskualifikasi Shater adalah Faruq Sultan, yang juga ketua MK. Buntutnya, Ikhwanul Muslimin kemudian memajukan calon cadangan: Muhammad Mursi.
Kedua, pemberian kesempatan kepada loyalis Mubarak untuk memperebutkan kekuasaan. Sebelum proses pendaftaran calon presiden, sebenarnya parlemen telah meloloskan Undang-Undang (UU) Isolasi Politik. Lewat UU ini, semua tokoh di era rezim Mubarak, dilarang mencalonkan diri sebagai presiden selama 10 tahun ke depan, terhitung sejak tumbangnya Mubarak pada 11 Februari 2011. UU ini kemudian disahkan SCAF-yang ber peran sebagai eksekutif masa transisi.
Pengesahan UU tersebut, mengancam pencalonan Ahmad Shafiq, marsekal yang pernah menjadi perdana menteri di akhir kekuasaan Mubarak. Tapi, Shafiq kemudian mengajukan banding ke KPU. Dan, KPU yang dipimpin Faruq Sultan, ternyata mampu bertindak di atas UU. Sebab, KPU kemudian menerima banding itu, sehingga Shafiq tetap bisa menjadi kontestan pemilu presiden.
Ketiga, setelah pemilu presiden digelar, tak ada yang meraih suara mayoritas. Sehingga, pemenangnya harus ditentukan melalui me lalui putaran kedua. Ada dua calon yang maju ke pu taran kedua, yaitu Mursi dan Shafiq. Di te ngah pro ses tersebut, Shafiq yang melanggar UU Iso lasi Politik, kembali dipersoalkan ke MK. Dan Faruq, kembali pasang badan untuk Shafiq.
Pada 14 Juni 2012, Faruq Sultan selaku ketua MK, menyatakan Shafiq tetap bisa maju dalam pilpres putaran kedua. Sebab, UU Isolasi Politik, bertentangan dengan konstitusi. Bukan hanya itu. Pada hari itu juga, MK mengumumkan bahwa aturan pengisian ang gota parlemen di UU Pemilu Parlemen melanggar konstitusi. Keputusan ini berbuntut pembubaran parlemen.
UU Pemilu Parlemen menyatakan sepertiga ang gota parlemen dipilih berdasarkan sis tem distrik berwakil tunggal (FPTP)-dengan peserta pemilu perseorangan-- dan dua pertiganya dipilih dengan sistem proporsional daftar --dengan partai sebagai peserta pemilu. Namun, untuk pemilihan dengan sistem FPTP itu, orang partai boleh maju secara perseorangan.
UU Pemilu Parlemen disusun oleh SCAF pada September 2011, atau dua bulan sebelum pemilu parlemen. Semula, SCAF membuat klausul yang menyatakan 50 persen anggota parlemen dipilih dengan sistem proporsional daftar, dan 50 persen lainnya dengan FPTP. SCAF mensyaratkan, 50 persen anggota parlemen yang dipilih dengan FPTP itu, adalah orang independen nonpartisan.
Langkah SCAF tersebut mendapat tentangan dari hampir seluruh kekuatan politik saat itu. SCAF akhirnya merevisi UU Parlemen. Kaplingnya menjadi dua pertiga dipilih dengan proporsional daftar, dan sepertiga di pilih de ngan FPTP di mana orang partai boleh juga menjadi kontestannya di jalur perseorangan itu.
MK menyatakan justru di situlah pelanggarannya. Sebab, sepertiga anggota parlemen yang dipilih dengan sistem FPTP itu, seharusnya adalah orang independen nonpartisan. Karena ternyata juga diisi orang partai, MK menyatakan sepertiga kursi parlemen menjadi tidak sah.
Yang harus dilakukan pascaputusan MK, menurut sejumlah pakar konstitusi, adalah memilih ulang sepertiga anggota parlemen yang dinyatakan tidak sah. Tapi, berbekal putusan MK, SCAF kemudian membubarkan parlemen. Buntutnya, kekuasaan legislatif yang semula lepas ke tangan sipil lewat pemilu, kembali ke tangan para jenderal di SCAF.
Upaya penggagalan tersebut terlihat intensif dan sistematis pascakemenangan Ikhwanul Muslimin dalam pemilu parlemen. Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (the Supreme Council of the Armed Force/SCAF) bersama Mahkamah Konstitusi (MK) dan para hakim agungnya, melakukan move-move politiskonspiratif yang mengatasnamakan hukum dan konstitusi.
Pertama, diskualifikasi Khairat el-Shater, calon presiden kharismatis yang diusung Ikhwanul Muslimin. Alasannya, Khairat masih ber status terpidana politik era Mubarak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mendiskualifikasi Shater adalah Faruq Sultan, yang juga ketua MK. Buntutnya, Ikhwanul Muslimin kemudian memajukan calon cadangan: Muhammad Mursi.
Kedua, pemberian kesempatan kepada loyalis Mubarak untuk memperebutkan kekuasaan. Sebelum proses pendaftaran calon presiden, sebenarnya parlemen telah meloloskan Undang-Undang (UU) Isolasi Politik. Lewat UU ini, semua tokoh di era rezim Mubarak, dilarang mencalonkan diri sebagai presiden selama 10 tahun ke depan, terhitung sejak tumbangnya Mubarak pada 11 Februari 2011. UU ini kemudian disahkan SCAF-yang ber peran sebagai eksekutif masa transisi.
Pengesahan UU tersebut, mengancam pencalonan Ahmad Shafiq, marsekal yang pernah menjadi perdana menteri di akhir kekuasaan Mubarak. Tapi, Shafiq kemudian mengajukan banding ke KPU. Dan, KPU yang dipimpin Faruq Sultan, ternyata mampu bertindak di atas UU. Sebab, KPU kemudian menerima banding itu, sehingga Shafiq tetap bisa menjadi kontestan pemilu presiden.
Ketiga, setelah pemilu presiden digelar, tak ada yang meraih suara mayoritas. Sehingga, pemenangnya harus ditentukan melalui me lalui putaran kedua. Ada dua calon yang maju ke pu taran kedua, yaitu Mursi dan Shafiq. Di te ngah pro ses tersebut, Shafiq yang melanggar UU Iso lasi Politik, kembali dipersoalkan ke MK. Dan Faruq, kembali pasang badan untuk Shafiq.
Pada 14 Juni 2012, Faruq Sultan selaku ketua MK, menyatakan Shafiq tetap bisa maju dalam pilpres putaran kedua. Sebab, UU Isolasi Politik, bertentangan dengan konstitusi. Bukan hanya itu. Pada hari itu juga, MK mengumumkan bahwa aturan pengisian ang gota parlemen di UU Pemilu Parlemen melanggar konstitusi. Keputusan ini berbuntut pembubaran parlemen.
UU Pemilu Parlemen menyatakan sepertiga ang gota parlemen dipilih berdasarkan sis tem distrik berwakil tunggal (FPTP)-dengan peserta pemilu perseorangan-- dan dua pertiganya dipilih dengan sistem proporsional daftar --dengan partai sebagai peserta pemilu. Namun, untuk pemilihan dengan sistem FPTP itu, orang partai boleh maju secara perseorangan.
UU Pemilu Parlemen disusun oleh SCAF pada September 2011, atau dua bulan sebelum pemilu parlemen. Semula, SCAF membuat klausul yang menyatakan 50 persen anggota parlemen dipilih dengan sistem proporsional daftar, dan 50 persen lainnya dengan FPTP. SCAF mensyaratkan, 50 persen anggota parlemen yang dipilih dengan FPTP itu, adalah orang independen nonpartisan.
Langkah SCAF tersebut mendapat tentangan dari hampir seluruh kekuatan politik saat itu. SCAF akhirnya merevisi UU Parlemen. Kaplingnya menjadi dua pertiga dipilih dengan proporsional daftar, dan sepertiga di pilih de ngan FPTP di mana orang partai boleh juga menjadi kontestannya di jalur perseorangan itu.
MK menyatakan justru di situlah pelanggarannya. Sebab, sepertiga anggota parlemen yang dipilih dengan sistem FPTP itu, seharusnya adalah orang independen nonpartisan. Karena ternyata juga diisi orang partai, MK menyatakan sepertiga kursi parlemen menjadi tidak sah.
Yang harus dilakukan pascaputusan MK, menurut sejumlah pakar konstitusi, adalah memilih ulang sepertiga anggota parlemen yang dinyatakan tidak sah. Tapi, berbekal putusan MK, SCAF kemudian membubarkan parlemen. Buntutnya, kekuasaan legislatif yang semula lepas ke tangan sipil lewat pemilu, kembali ke tangan para jenderal di SCAF.