Oleh: Shadiq Umar
dakwatuna.com – Perbincangan yang marak belakangan ini adalah terkait skenario besar dari penjajah Israel untuk kembali melancarkan agresinya ke Jalur Gaza, dan hal itu benar-benar menjadi barang dagangan bagi media-media saat ini. Mereka menggiring opini seakan-akan agresi Jalur Gaza jilid II akan segera terjadi. Bahkan para analis dan intelijen mengamini kemungkinan terjadinya agresi itu. Namun pada hakikatnya isu-isu seperti ini menjadi strategi tersendiri dari musuh, sehingga menyebabkan warga Palestina tertekan psikisnya. Maka dari itu benar apabila dikatakan, bahwa isu akan agresi militer ke Gaza jilid II hanyalah permainan dari politik penjajah Israel saja, dan tidak akan terwujud menjadi agresi dalam bentuk nyata.
Ada beberapa catatan yang membuat agresi ini serasa mustahil untuk kembali terjadi dalam waktu dekat. Di antaranya, bagaimana mungkin Zionis Israel nekat berani melakukan agresinya di tengah kerasnya badai revolusi di Tanah Arab yang terjadi secara serempak? Lalu bagaimana pula nasib keamanan Israel apabila mereka memaksa menggelar agresi itu? Mungkinkah Israel mengambil keputusan menyerang secara sepihak tanpa memiliki dukungan dari sekutunya Amerika dan negara-negara Eropa? Apa keuntungan yang didapat Israel dari agresi kedua ini nantinya? Apakah Israel memiliki jaminan bahwa target di balik agresinya itu bisa tercapai? Dan bagaimana dengan dampak dari isu-isu regional yang kian memanas, khususnya krisis kemanusiaan yang menimpa Suriah dan meningkatnya ketegangan antara Iran dan Barat? Dan bagaimana pula Israel mampu mengkampanyekan perang di saat rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas dengan sangat intens terus diwujudkan?
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itu bisa kita simpulkan beberapa alasan serta kendala penjajah Israel untuk kembali mengagresi Jalur Gaza sebagai berikut:
Terkait dengan Gerakan Hamas dan Jalur Gaza. Hamas yang dibayang-bayangi oleh poros Iran-Suriah, kini berada di posisi yang cukup sulit, karena Kantor Perwakilan mereka di Suriah terkepung dengan krisis kemanusiaan di negeri itu, kondisi buruk ini suatu saat bisa saja menjadi ‘bom’ bagi Hamas, menjadi korban dari perseteruan di sana. Dan Israel tak perlu banyak campur tangan dalam kondisi seperti ini.
Namun apabila Israel memanfaatkan kesempatan seperti ini dengan melancarkan agresinya, jelas ini akan menguntungkan Iran, Suriah dan Hizbullah, karena isu telah berubah dan mereka bisa segera keluar dari krisis dalam negerinya, dan di saat bersamaan Israel mendapatkan sanksi dari dunia internasional yang tentu akan berimbas terhadap buruknya kondisi keamanan dan ekonomi di dalam negeri. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa agresi yang akan dilakukan ke Gaza bagi Israel haruslah dilakukan di saat yang tepat, dan harus dikuatkan dengan dunia Internasional kendati Amerika saat ini tengah berada dalam masa pemilu Presiden dan krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Euro.
Kedua, Menjaga hubungan dengan pemerintah Islam di Mesir dan wilayah Utara Afrika, agar Israel memiliki kesempatan untuk memberikan ‘pukulan’ terhadap gerakan Hamas dan melemahkan pemerintah Hamas di Gaza. Israel harus bisa mengisolasi Hamas agar tidak terpengaruh dengan gelombang revolusi di kawasan Timur Tengah. Namun pada hakikatnya, pilihan untuk berperang akan memberi dampak terhadap kawasan bahkan bisa berimbas dengan bangkitnya revolusi baru dengan mengangkat isu Palestina, anti Israel dan permusuhan terhadap dunia barat, dimana pada saat bersamaan kepemimpinan yang berbau barat akan digulingkan di seluruh negara-negara Arab melebihi dari apa yang telah terjadi sekarang.
Ketiga, memutus hubungan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas dan menggagalkan proses pemilu parlemen dan pilpres dan Dewan Nasional dalam membentuk kepemimpinan bersatu Palestina, untuk kemudian mengatur strategi jitu, jauh dari pilihan perundingan damai yang kerap berakhir nihil yang sudah dijalani Palestina selama dua dekade terakhir. Setiap perundingan itu tidak pernah menghasilkan apa-apa, kecuali bertambahnya jumlah pemukim penjajah di wilayah Palestina dan semakin gencarnya gerakan Yahudisasi.
Terwujudnya rekonsiliasi akan menambah kekuatan bagi bangsa Palestina. Tidak ada jaminan sama sekali bagi Israel ancaman keamanan terhadap tanah yang mereka duduki saat ini akan berakhir dengan adanya agresi militer. Bahkan akhir-akhir ini yang mencuat adalah seruan untuk mendirikan negara demokratis bersatu Yahudi dan Arab, dan ini membuat posisi Yahudi semakin terisolasi dan identitas negara Yahudi semakin terancam, hal ini memaksa mereka berfikir keras apakah dalam kondisi seperti ini mereka dapat menang dari Hamas yang berada di Jalur Gaza? Bagaimana sikap Israel apabila Hamas dapat menang kembali di Gaza dan Israel tidak dapat mencapai target dari agresinya? Dalam kondisi apapun pilihan-pilihan itu terbuka kendati belum jelas sampai sejauh mana mereka para petinggi Yahudi radikal menjatuhkan pilihan untuk berperang terhadap Gaza.
Kesalahan terbesar datang dari para petinggi penjajah itu, di mana cara berpikirnya justru akan menjatuhkan mereka dalam bencana yang lebih hebat di kawasan, seperti yang kerap mereka lakukan sekarang dengan menghidupkan semangat agresi dan perang di negerinya. Terlebih saat ini mereka aktif menggelar latihan militer di daerah yang berbatasan dengan jalur Gaza, ditambah dengan perkataan dari Panglima Perang Zionis, “Saya telah membuka pintu lebar-lebar untuk jalannya operasi militer terhadap Jalur Gaza.” Mereka kemudian mengkampanyekan kembali kebencian terhadap Jalur Gaza dan Hamas, dan memberi peringatan akan situasi keamanan yang mengancam dari arah Sinai, Mesir. Pemberitahuan seperti ini selayaknya disikapi oleh orang Palestina dan faksi perlawanan dengan selalu mawas diri agar terus waspada dan siap menghadapi segala kemungkinan, sebagaimana yang diketahui bersama bahwa cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang adalah menyiapkan diri sedini mungkin untuk menghadapi perang. (knrp)