Oleh : FAJAR KURNIANTO
Majalah GATRA, 12 – 18 April 2012
Judul : Dilema PKS, Suara dan Syariah
Penulis : Burhanuddin Muhtadi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Tahun : I, Maret 2012
Tebal : xxviii+307 halaman
ISBN : 978-979-91-0438-0
Sebagai partai yang aslinya eksklusif lalu mencoba menjadi partai inklusif, PKS diibaratkan tengah mendayung di antara dua karang. Eksperimennya baru benar-benar teruji pada Pemilu 2014.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) dalam konteks politik Indonesia menjadi fenomena tersendiri. Inilah partai yang lahir dari gerakan Islam (Jamaah Tarbiyah) di mana pada masa Orde Baru (Orba) direpresi pemerintah, seperti juga gerakan-gerakan Islam lainnya. Ketika Orba tumbang, gerakan-gerakan Islam bermunculan. Ada yang tetap menjadi gerakan Islam (apolitis), ada yang menjadi partai politik (politis) seperti PKS.
Keinginan untuk menjadi partai inklusif sebetulnya bukan tanpa alasan. Pengalaman PK di Pemilu 1999 yang hanya meraup 1,3% suara yang membuatnya tidak bisa ikut Pemilu 2004, sehingga PK pun berganti menjadi PKS. Di Pemilu 2004, partai ini meraup 7,34% suara, sehingga berhak ikut di Pemilu 2009. Di Pemilu 2009, PKS meraup 7,9% suara.
Pemilu 2009 sendiri menjadi ajang eksperimen PKS, dan dinilai berhasil. Lonjakan suara PKS di dua Pemilu terakhir tidak lepas dari strategi politik yang tidak seeksklusif pada 1999. Suara menjadi prioritas, dengan tetap menjaga basis tradisionalnya yang konservatif. Strategi inklusif pun bukan tanpa penentangan dari sesepuh partai yang konservatif.
Buku Burhanuddin Muhtadi, yang awalnya merupakan tesis di Australia’s National University ini coba melihat PKS dengan menggunakan perspektif gerakan sosial. Mirip dengan yang dilakukan peneliti-peneliti Barat, misalnya Quintan Wictorowicz, Charles Kurzman, Carrie Wickham dan Emmanuel Karegiannis, yang menggunakan teori-teori gerakan sosial untuk membedah gerakan salafisme, Hizbut Tahrir, dan Ikhwanul Muslimin.
Menurut Burhanuddin, yang menarik dari PKS adalah strategi politiknya yang dilematis. Bagaimanapun, PKS adalah partai eksklusif, dengan basis tradisional kaum muda, terdidik, dan masyarakat perkotaan. Tapi, kemudian coba “bertaruh” untuk menjadi partai inklusif (terbuka).
Strategi PKS dengan menjadi partai terbuka secara serius diawali dari Mukernas PKS, 1-3 Februari 2008 di Bali. Ini disebut-sebut menjadi lompatan sejarah PKS. Dengan logo Mukernas yang mirip pura, nuansa tradisional dan lokalitas Bali yang mayoritas beragama Hindu begitu kentara. Di sini, pekik takbir yang biasanya mewarnai acara-acara PKS seperti “hilang”. Malah, yang bergemuruh adalah tepuk tangan peserta yang kadang diselingi dengan pekik “merdeka!”
Menurut Burhanuddin, sebagai partai yang dilahirkan dari rahim gerakan dakwah, tarik-menarik kubu harakah dengan hizb (partai) memang tak terhindarkan. Pilihan menjadi partai politik kadangkala memaksa PKS untuk bermain dalam dunia abu-abu yang penuh kompromi, negosiasi, dan godaan kekuasaan. Tidak semua kader bisa “menikmati” langgam politik seperti itu, terbukti dengan kritik-kritik keras dari sesepuh partai, seperti Abu Ridho, Mashadi, Daud Rasyid, dan Ihsan Tanjung .
PKS, kata Burhanuddin, ibarat mendayung di antara “dua karang”. Yakni, memilih strategi partai sebagai representasi basis sosial atau logika kompetisi elektoral. Apabila PKS ingin mengedepankan representasi basis sosial partai, maka menjadi partai ideologis adalah pilihan tepat. Sebaliknya, bila ingin muncul sebagai pemenang pemilu, pilihan yang paling realistis adalah mengubah orientasi dan perilaku politik PKS menjadi partai inklusif. Tapi, secara teoretis maupun praktis, dua pilihan sebagai partai ideologis atau elektoralis sulit dikompromikan.
Dilema PKS, dari studi Burhanuddin ini, memberikan gambaran pergeseran strategi Islam politik ke arah strategi politik lebih terbuka. Perolehan suara partai-partai ideologis (partai-partai Islam) yang merosot, karena pemilih beralih ke partai-partai nasionalis, menjadi alasan kuat PKS memilih jalan terbuka. Partai-partai berbasis ideologis-eksklusif tampak sepi peminat.
Namun, tidak mudah sebetulnya bagi PKS untuk benar-benar melepaskan diri dari ikatan ideologis yang memang telah membentuk dan menjadi brand-nya. Eksperimen Pemilu 2009 dengan brand partai terbuka dinilai berhasil mengangkat suara PKS, meski tidak banyak. Menarik ditunggu hasil eksperimen kedua PKS di Pemilu 2014 nanti.