Senin, 16 April 2012

Tafsir Surat Al-Buruuj (bagian ke-3, Selesai)

Peristiwa Ashhabul-Ukhdud

Setelah melukiskan suasana ini dan dibukanya lapangan ini, datanglah isyarat yang menunjuk ke­-pada peristiwa itu dengan beberapa sentuhannya,

وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَن يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ ﴿٨﴾ الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ ﴿٩﴾

“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedangkan, mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu me­lainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Allah Maha Me­nyaksikan segala sesuatu.” (QS. A1-Buruuj: 8-9)

Tidak ada dosa dan kesalahan yang dilakukan kaum mukminin terhadap mereka. Itulah kesalahan orang-orang mukmin, yaitu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Yang berkuasa melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, Yang Maha Terpuji, Yang berhak mendapatkan pujian dalam semua keadaan, dan memang Dia sudah Maha Terpuji meskipun orang-orang jahil tidak memuji-Nya! Dialah yang layak untuk diimani dan diibadahi. Hanya Dia sajalah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Dia menyaksikan segala sesuatu. Baik yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi.

Kemudian, Dia pulalah Yang menyaksikan urusan kaum mukminin dengan ashhabul ukhdud ini merupakan suatu sentuhan yang menenangkan hati orang-orang yang beriman dan menakut-nakuti orang-orang yang zhalim dan sombong. Maka, Allah selalu menyaksikan, dan cukuplah Allah sebagai yang menyaksikan.

Selesailah riwayat peristiwa itu di dalam ayat-ayat yang pendek ini. Peristiwa yang memenuhi hati dengan rasa kebencian yang dalam terhadap tindakan itu beserta para pelakunya. Hal itu sebagaimana ia juga menyimpan harapan di balik peristiwa ini beserta timbangannya di sisi Allah, dan keberhakan pelakunya terhadap kemurkaan dan kebencian Allah. Maka, ini adalah urusan yang tidak ber­henti pada batas ini saja. Akan tetapi, di belakangnya akan ada hisab dari Allah dengan segala akibatnya.

Riwayat tentang peristiwa ini sudah selesai dan telah memenuhi hati dengan perasaan takut. Takut yang ditimbulkan oleh keimanan, yang mengungguli fitnah itu sendiri, dan aqidah yang mengalahkan keinginan hidup duniawi. Juga oleh kemerdekaan tulen yang membebaskannya dari tawanan fisik dan daya tarik duniawi. Karena ada orang-orang mukmin yang memiliki kemampuan untuk menyelamatkan kehidupannya di dalam menghadapi hal-hal yang merusak imannya. Tetapi, berapa banyak mereka yang merugikan diri sendiri dalam kehidupan dunia sebelum di akhirat nanti? Betapa banyak manusia mengalami kerugian? Berapa banyak mereka yang merugi ketika mereka memerangi makna yang besar ini? Yaitu, makna ketidak-berartian kehidupan tanpa aqidah, dan buruknya kehidupan tanpa ke­merdekaan, serta hinanya kehidupan ketika ruh mereka dikuasai oleh para diktator setelah fisik mereka dikuasainya!

Sungguh ini adalah makna yang sangat mulia dan agung. Inilah keberuntungan yang mereka peroleh setelah mereka lepas dari kehidupan duniawi. Inilah keberuntungan yang mereka peroleh ketika mereka disentuh api yang membakar tubuhnya. Tetapi, mereka berhasil menyelamatkan dan mendapatkan makna yang agung dan mulia ini yang dibersihkan oleh pembakaran api itu. Sesudah itu, mereka akan dihisab di sisi Tuhannya, dan musuh-musuh mereka yang zhalim dan diktator itu pun akan dihisab. Dengan demikian, diakhirilah konteks ini.
Kemudian mereka terus saja berjalan dalam ke­sesatannya tanpa menyesali tindakan-tindakannya. Di sana akan diperoleh pembalasan;

إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ ﴿١٠﴾ إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ ﴿١١﴾

“Sesungguhnya, orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan wanita kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahannam dan azab (neraka) yang membakar. Se­sungguhnya, orang-orang yang beriman dan melakukan amal-amal yang saleh, bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Itulah keberuntungan yang besar. “  (QS. Al-Buruuj: 10-11)

Sesungguhnya, peristiwa yang terjadi di bumi dalam kehidupan dunia ini, bukanlah akhir peristiwa dan akhir perjalanan, karena akibatnya akan di­terima di sana, di akhirat nanti, dan akan diperoleh pembalasan yang setimpal dengan perbuatannya. Juga akan ada pemisahan antara orang-orang muk­min dan orang-orang yang zhalim. Ini adalah suatu ketetapan yang sudah ditegaskan oleh Allah dan pasti akan terjadi, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya, orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan wanita….

Dalam nash ini disebutkan kata sifat al-hariiq ‘yang membakar’ yang merupakan pemahaman terhadap Jahanam. Akan tetapi, disebutkannya kata ini adalah untuk menjadi perimbangan bagi pembakaran di dalam parit dalam peristiwa yang mereka lakukan dahulu. Namun, bagaimana perbandingan antara pembakaran ini dan pembakaran itu? Bagaimana perbandingan tentang kerasnya dan lama masanya?

Pembakaran dunia yang dinyalakan oleh manusia dengan api dan pembakaran akhirat dengan api yang dinyalakan oleh Sang Maha Pencipta! Pembakaran dunia hanya sementara waktu dan segera berakhir, sedangkan pembakaran akhirat bersifat kekal dan tidak ada yang tahu masanya kecuali Allah. Keterbakaran orang-orang mukmin di dunia itu disertai dengan keridhaan Allah kepada mereka dan di­menangkannya nilai kemanusiaan yang mulia, se­dangkan keterbakaran di akhirat bagi kaum kafir disertai dengan kemurkaan Allah, kerendahan dan kehinaan.

Keridhaan dan kenikmatan dari Allah kepada orang-orang mukmin dan beramal saleh di surga itu tercermin dalam firman-Nya,

‘Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan menegakkan amal-amal yang saleh, bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai….”
Inilah keselamatan yang sebenarnya,“…Itulah keberuntungan yang besar.”

Disebutkannya dengan terus terang azab yang keras di sini selaras dengan peristiwa yang menampakkan Al-fauz adalah keselamatan dan keberuntungan. Keselamatan dari azab akhirat saja sudah merupa­kan keberuntungan. Nah, apalagi bila mendapatkan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai?
Dengan bagian akhir ini, mantaplah urusan itu secara proporsional, yaitu kesudahan yang sebenar­nya terhadap sikap dan tindakan manusia. Maka, apa saja yang terjadi darinya di dalam kehidupan dunia ini adalah bagian darinya, dan akan mendapat imbal­an dengan lengkap dan sempurna. Ini adalah hakikat yang menjadi sasaran komentar pertama terhadap peristiwa itu. Tujuannya untuk memantapkan hati golongan minoritas mukmin di Mekah, dan memantapkan hati setiap kelompok orang beriman yang menghadapi fitnah pada saat kapan pun. Kemudian dilanjutkanlah komentar-komentar berikutnya.

إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ ﴿١٢﴾

“Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras.” (QS. Al­-Buruuj: 12)

Kekerasan kecil dan hina yang oleh pelaku­nya dan semua manusia di dunia dianggap besar dan keras. Maka, siksaan yang benar-benar keras adalah siksaan Tuhan Yang Maha Perkasa, Yang mem­punyai kerajaan langit dan bumi. Bukan siksaan makhluk-makhluk lemah dan kerdil yang berkuasa atas sejengkal wilayah di bumi dan dalam waktu yang terbatas.

Kalimat ini menampakkan hubungan antara lawan bicara – yakni Rasulullah SAW – dan yang berfirman, yaitu Allah Azza wajalla, dalam firman-­Nya, “Sesungguhnya azab Tuhanmu….” Tuhanmu yang engkau menisbatkan diri kepada Rububiyah-Nya, dan yang menjadi sandaranmu untuk mendapatkan per­tolongan-Nya. Hubungan ini memiliki nilai tersendiri di saat orang-orang yang durhaka menyiksa orang­-orang yang beriman.

إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ ﴿١٣﴾

“Sesungguhnya, Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya kembali.” (QS. Al-­Buruuj: 13)

Memulai dan mengembalikan, meskipun maknanya mengarah kepada penciptaan pertama dan ter­akhir, namun kedua peristiwa ini selalu terjadi setiap saat pada waktu malam atau siang, karena setiap saat terjadi permulaan dan penciptaan serta terjadi ke­binasaan dan kematian. Sedangkan, alam semesta senantiasa berada dalam kebaruan yang terus ­menerus dan terjadi kematian yang terus-menerus. Di bawah bayang-bayang gerakan yang terus-menerus dan menyeluruh yang berupa permulaan dan pengembalian (kematian) ini, tampaklah peristiwa pembakaran manusia beriman di dalam parit ber­sama akibat-akibat lahiriyahnya itu sebagai suatu masalah yang telah berlalu dalam realitas dan hakikat. Maka, ia adalah permulaan yang akan berulang, atau pengulangan terhadap permulaan, dalam gerakan yang terus beredar dan berputar ini.

وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ ﴿١٤﴾

‘Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. “ (QS. Al-Buruuj: 14)

Pengampunan ini berkaitan dengan firman-Nya sebelumnya, “Kemudian mereka tidak bertobat “Maka pengampunan itu termasuk rahmat dan karunia yang melimpah yang tak terbatas dan tak terikat. Pengampunan merupakan pintu terbuka yang tidak pernah tertutup bagi orang yang kembali bertobat, betapapun besarnya dosa dan kemaksiatannya.

Sedangkan, al-Wudd  ”kepengasihan”, ia ber­hubungan dengan sikap orang-orang mukmin yang lebih memilih Tuhannya (keridhaan Tuhannya) dari pada segala sesuatu yang lain. Al-wudd ini merupakan pemberian kesenangan yang halus, manis, dan mulia, ketika Allah mengangkat derajat hamba-­hamba-Nya yang lebih mengutamakan keridhaan­-Nya dan mencintai-Nya. Maka, sangat sulit pena me­lukiskannya apabila bukan karena karunia dan kemurahan Allah. Yaitu, derajat kedekatan antara Tuhan dan hamba, dan derajat kasih sayang dari Allah kepada para kekasih dan orang-orang yang dicintai-Nya yang didekatkan kepada-Nya.
Kalau begitu, apakah arti kehidupan yang mereka korbankan, yang seandainya tidak mereka korban­kan, maka kehidupan itu pun pasti berlalu? Apakah arti azab yang mereka derita itu, sedangkan azab itu hanya terbatas waktunya? Apa artinya itu dibanding kan dengan tetesan kasih sayang yang manis ini? Juga apa artinya jika dibandingkan dengan kilatan cahaya kegembiraan yang penuh kasih sayang?

Sesungguhnya, hamba-hamba dari budak-budak bumi ini adalah manusia yang notabene adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Esa. Mereka men­campakkan diri mereka ke dalam kebinasaan karena termotivasi oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Atau, karena mengharapkan kilasan kerelaan yang tampak di wajahnya, padahal yang dipatuhi itu adalah seorang hamba dan mereka yang patuh itu pun ada­lah hamba juga. Maka, bagaimana dengan hamba­-hamba Allah, yang dihibur oleh Allah dengan kasih sayang-Nya yang mulia dan agung.

ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ ﴿١٥﴾

“Yang mempunyai Arsy, lagi Mahamulia.” (QS. Al-Buruuj: 15)

Dia Yang Mahaluhur, Yang Maha Melindungi, dan Yang Maha Pengasih.
Dengan demikian, terasa kecillah kehidupan ini, terasa ringanlah penderitaan itu, dan terasa enteng azab itu. Juga terasa hina segala yang dianggap mahal dan hebat, dibanding dengan cahaya keri­dhaan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pelin­dung dan Maha Pengasih, Yang memiliki Arasy serta Mahamulia.

فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ ﴿١٦﴾

“Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al­-Buruuj: 16)

Ini adalah sifat Allah yang banyak realisasinya, yang terus beroperasi. Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia memiliki kehendak yang mutlak, memilih apa yang dikehendaki-Nya, dan berbuat apa yang dikehendaki dan dipilih-Nya, selamanya dan abadi, karma hal itu merupakan sifat Allah Yang Mahasuci.
Sekali tempo, Dia menghendaki kaum mukminin mendapat kemenangan di muka bumi ini karena suatu hikmah yang dikehendaki-Nya. Pada kali lain, Dia menghendaki iman mendapat kemenangan di dalam menghadapi fitnah, tetapi jasad para pelaku­nya hancur binasa. Hal seperti itu pun karena suatu hikmah yang dikehendaki-Nya pula.

Suatu kali, Dia menghendaki menghukum para penguasa yang sombong itu di muka bumi. Namun, suatu kali dibiarkan-Nya mereka untuk dihukum­-Nya pada hari yang dijanjikan. Semua itu karena -suatu hikmah yang akan terwujud di sini dan di sana nanti, dalam ukuran yang telah ditentukan-Nya.

Inilah satu sisi dari perbuatan-Nya terhadap apa yang dikehendaki-Nya, yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Juga sesuai dengan apa yang akan disebutkan berikut ini mengenai Fir’aun dan kaum Tsamud. Namun, tetaplah kehendak dan kekuasaan yang mutlak di belakang peristiwa-peristiwa ini dan di belakang kehidupan ini, sedangkan alam semesta melakukan aktivitasnya dalam dunia wujud ini.
Dia Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-­Nya. Di sana sebuah contoh dari kemahakuasaan-­Nya berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya itu,

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْجُنُودِ ﴿١٧﴾ فِرْعَوْنَ وَثَمُودَ ﴿١٨﴾

Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum pe­nentang, (yaitu kaum) Fir’aun dan (kaum) Tsamud?” (QS. Al-Buruuj: 17-18)

Ayat ini mengisyaratkan kepada dua buah kisah panjang, yang disebutkan sepintas kilas di sini karma sudah dimaklumi oleh orang-orang yang diajak bicara tentang urusan mereka, sesudah disebutkan­nya panjang lebar di dalam Al-Qur’anul-Karim. Disebutkannya mereka (para penentang) dengan al­-junud ‘tentara’ itu menunjukkan kepada kekuatan dan persiapan mereka. Sudahkah datang kepadamu berita mereka? Dan, bagaimana yang diperbuat Tuhanmu terhadap mereka sesuai dengan kehendak-Nya?

Ini adalah dua berita yang berbeda karakter dan akibatnya. Adapun berita tentang Fir’aun, maka Allah telah membinasakannya beserta tentaranya. Dia me­nyelamatkan Bani Israel, dan menempatkan mereka di muka bumi sementara waktu, untuk merealisasi­kan pada mereka suatu ketentuan dari ketentuan­-Nya dan suatu kehendak dari kehendak-Nya.

Sedangkan berita kaum Tsamud, maka Allah telah membinasakan mereka karena membunuh anak unta bapak mereka, Nabi Shalih. Diselamatkan-Nya Nabi Shalih dan segolongan minoritas yang ikut ber­samanya, yang sesudah peristiwa itu mereka tidak lagi memiliki raja dan kekuasaan. Jadi, mereka hanya semata-mata diselamatkan dari kaum yang fasik.

Ini adalah dua buah contoh tentang berlakunya iradah Allah dan berjalannya kehendak Nya. Ini juga merupakan dua buah gambaran dari gambaran-­gambaran dakwah kepada agama Allah dengan segala konsekuensinya, di samping terjadinya ke­mungkinan ketiga seperti peristiwa itu. Semuanya ditampilkan oleh Al-Qur’an kepada golongan minoritas mukmin di Mekah, dan kepada semua generasi orang-orang yang beriman.

Penutup

Pada bagian penutup datanglah dua buah kesan yang kuat dan pasti, yang masing-masing berisi ke­tetapan, kata kepastian, dan hukum terakhir,

بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي تَكْذِيبٍ ﴿١٩﴾ وَاللَّهُ مِن وَرَائِهِم مُّحِيطٌ ﴿٢٠﴾

Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan. Padahal, Allah mengepung mereka dari belakang mereka.” (QS. Al-Buruuj: 19-20)

Urusan orang-orang kafir dan hakikat keadaan mereka adalah bahwa mereka selalu mendustakan. Pada petang hari mendustakan dan pada pagi hari juga mendustakan. ‘Padahal, Allah mengepung mereka dari belakang mereka.Sedangkan, mereka lalai terhadap pengepungan Allah dengan kekuasaan dan pengetahuan-Nya. Maka, mereka lebih lemah dari­pada tikus yang terkepung banjir yang merata.

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ ﴿٢١﴾ فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ ﴿٢٢﴾

“Bahkan, yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhul Mahfuzh.” (QS. Al-Buruuj: 21-22)

Al-Qur’an yang mulia, luhur, dan mengakar. Ada kah sesuatu yang lebih mulia, lebih luhur, dan lebih mengakar daripada firman Allah Yang Mahaagung? Al-Qur’an itu tersimpan di dalam Lauhul Mahfuz. Jadi, yang kita tidak mengetahui tabiatnya karena ia termasuk urusan gaib yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya.

Kita hanya mengambil manfaat dari bayang-bayang yang diberikan oleh ungkapan kalimat itu, bisa saja lenyap, tetapi perkataan Al-Qur’an senan­tiasa terjaga dan terpelihara dan kesan yang ditinggalkannya di dalam hati, yaitu bahwa Al-Qur’an itu berada dalam perlindungan yang kokoh, perkataannya menjadi rujukan terakhir, Al-Qur’an telah mengucapkan perkataannya ten­tang peristiwa parit dan tentang hakikat yang ada di belakangnya dalam semua urusan yang terjadi. Semua perkataan Al-Qur’an merupakan perkataan pamungkas. Jadi, memilih apa yang dikehendaki-Nya, dan berbuat apa yang dikehendaki dan dipilih-Nya, selamanya dan abadi, karena hal itu merupakan sifat Allah Yang Mahasuci.

Sekali tempo, Dia menghendaki kaum mukminin mendapat kemenangan di muka bumi ini karena suatu hikmah yang dikehendaki-Nya. Pada kali lain, Dia menghendaki iman mendapat kemenangan di dalam menghadapi fitnah, tetapi jasad para pelaku­nya hancur binasa. Hal seperti itu pun karena suatu hikmah yang dikehendaki-Nya pula.

Suatu kali, Dia menghendaki menghukum para penguasa yang sombong itu di muka bumi. Namun, suatu kali dibiarkan-Nya mereka untuk dihukum­nya pada hari yang dijanjikan. Semua itu karena suatu hikmah yang akan terwujud di sini dan di sana nanti, dalam ukuran yang telah ditentukan-Nya.

Inilah satu sisi dari perbuatan-Nya terhadap apa yang dikehendaki-Nya, yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Juga sesuai dengan apa yang akan disebutkan berikut ini mengenai Firaun dan kaum Tsamud. Namun, tetaplah kehendak dan kekuasaan yang mutlak di belakang peristiwa-peristiwa ini dan di belakang kehidupan ini, sedangkan alam semesta melakukan aktivitasnya dalam dunia wujud ini.

Dia Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki­-Nya. Di sana sebuah contoh dari kemahakuasaan­-Nya berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya itu.
Sedangkan berita kaum Tsamud, maka Allah telah membinasakan mereka karena membunuh anak unta bapak mereka, Nabi Shalih. Diselamatkan-Nya nabi Shalih dan segolongan minoritas yang ikut ber­samanya, yang sesudah peristiwa itu mereka tidak lagi memiliki raja dan kekuasaan. Jadi, mereka hanya semata-mata diselamatkan dari kaum yang fasik.

Ini adalah dua buah contoh tentang berlakunya iradah Allah dan berjalannya kehendak Nya. Ini juga merupakan dua buah gambaran dari gambaran-­gambaran dakwah kepada agama Allah dengan segala konsekuensinya, di samping terjadinya ke­mungkinan ketiga seperti peristiwa pant itu. Semua­nya ditampilkan oleh Al-Qur’an kepada golongan minoritas mukmin di Mekah, dan kepada semua generasi orang-orang yang beriman.

– Selesai

Sumber: dakwatuna