Oleh Nourman Hidayat
DI negara demokrasi, termasuk Indonesia, partai merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik dalam fungsinya sebagai pendukung pemerintah maupun sebagai oposisi. Bahkan, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia memiliki peran penting dalam percaturan politik global.
DI negara demokrasi, termasuk Indonesia, partai merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik dalam fungsinya sebagai pendukung pemerintah maupun sebagai oposisi. Bahkan, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia memiliki peran penting dalam percaturan politik global.
Demikian pula dalam kapsitasnya sebagai negara berpenduduk muslim
terbesar, Indonesia diharapkan mampu menjadi penengah dan menjembatani
berbagai dialog penting muslim dan barat.
Dalam isu-isu lingkungan hidup dan global warming, pun juga menyangkut hak asasi manusia (HAM). Posisi ini menjadikan Indonesia memerlukan percepatan-percepatan pendewasaan peran politik, dan partai politik. Untuk mengimbangi komitmen kebangsaan dan tuntutan global, Indonesia harus memiliki partai politik yang solid dan disegani.
Show of force
Dalam isu-isu lingkungan hidup dan global warming, pun juga menyangkut hak asasi manusia (HAM). Posisi ini menjadikan Indonesia memerlukan percepatan-percepatan pendewasaan peran politik, dan partai politik. Untuk mengimbangi komitmen kebangsaan dan tuntutan global, Indonesia harus memiliki partai politik yang solid dan disegani.
Show of force
Dalam konteks Aceh, kita baru saja mengikuti sebuah pesta demokrasi pilkada yang dilakukan serentak di tingkat provinsi dan 17 kabupaten kota. Diikuti juga oleh calon dari independen, pesta demokrasi ini adalah yang terbesar di Indonesia. Hampir semua partai yang mengusung atau mendukung calon kepala daerah melakukan konsolidasi pendukung, baik pertemuan internal maupun terbuka. Deklarasi calon juga dilakukan dengan show of force yang beragam.
Sudah menjadi kebiasaan umum setiap kali show of force dilakukan dengan menggunakan atribut, mobilisasi massa dan unjuk kekuatan yang terkadang berlebihan. Dalam catatan kita, pelanggaran-pelanggaran pilkada dilakukan oleh para pendukung/massa dari berbagai kelompok, baik ketertiban umum, lalu lintas, bahkan intimidasi serta kecurangan saat pemilihan.
Semua ini bisa menyulut konflik yang lebih besar dan luas antarpendukung calon. Padahal beberapa waktu sebelumnya kita dipersaksikan oleh KIP Aceh sebuah deklarasi pilkada damai yang diikuti oleh semua calon kepala daerah bahkan pejabat pusat. Deklarasi memuat komitmen siap menang dan siap kalah, serta beberapa sikap penting untuk saling menghormati, dan menjaga perdamaian.
Jika deklarasi ini kita pandang sebagai komitmen moral dan bentuk ril sikap partai/calon kepala daerah, lalu mengapa di lapangan pelanggaran itu masih terjadi? Bukankah ini bentuk ketidakmampuan massa untuk menerjemahkan apa yang diinginkan partai atau calon kepala daerah masing-masing. Atau justru ketidakmampuan partai mengelola massa dalam bentuknya yang paling sederhana: “kepatuhan untuk solid”. Tidak terbangunnya hubungan emosional antara massa dan partai menyebabkan massa dan partai berada pada pijakan yang berbeda.
Rumusan eksistensi
Hasan al Banna, menguraikan bahwa ada dua kunci eksisnya sebuah organisasi, dalam konteks ini adalah partai politik. Yang pertama, system dan yang kedua kader. Sistem yang kuat dalam sebuah partai politik berupa AD/ART yang memungkinkan sebuah partai menjalankan roda organisasinya secara baik dari hulu hingga hilir. Muara kebijakan sampai pada tujuannya. Tanpa sistem, maka partai hanya berbasis modal dan idealisme. Dia tidak mencapai tujuannya.
Sedangkan kader, adalah mesin dan kekuatan besar sebagai penopang system. Sistem yang baik dan bagus harus digerakkan oleh para pendukung yang loyal. Tanpa pendukung maka sistem ini hanya berupa lembaran konsep yang melayang-layang di langit dan tidak menyapa bumi.
Oleh karena itu, kekuatan partai adalah massa. Dan rilnya kekuatan massa adalah kader. Eksistensi Kader mampu menjelaskan posisi partai dalam percaturan politik Indonesia. Partai yang eksis selalu memiliki pendukung/kader yang siap menjalankan konsep-konsep dan kebijakan partai secara baik dan bertanggung jawab, memiliki mobilitas yang tinggi dengan biaya konsolidasi yang murah. Tidak khawatir dengan swing votter, karena partai yang berbasis kader selalu memiliki pendukung loyalnya sendiri.
Partai sebagai mitra pemerintah maupun sebagai oposisi, selalu memiliki peran sama pentingnya dengan pemerintah. Sebagai penyeimbang maka partai harus mempersiapkan kadernya untuk menjadi kawan dialog pemerintah. Sebagai oposisi partai harus mampu memberi solusi positif bagi pemerintah. Dua peran besar ini baru bisa dicapai dengan pengorganisasian yang baik yang di dalamnya memuat loyalitas kader yang diikat dengan AD/ART. Loyalitas sendiri baru terbangun melalui sebuah ikatan ideologi yang kuat. Partai tanpa ideologi yang mapan akan menjadi pasar bebas, termasuk bebas nilai. karenanya ideologi menjadi sesuatu yang penting dalam sebuah partai politik. Inilah yang disebut sebagai partai kader.
Partai kader sangat memahami kebutuhan negara (dalam lingkup lebih kecil yaitu kabupaten/kota/provinsi). Dalam penjabaran sebuah visi misi kepala daerah serta RPJP/RPJM, dari sana partai harus membaca kebutuhan daerah menyangkut potensi dan SDM di daerah.
Sebuah ilustrasi
Menurut data statistik, PDRB Aceh pada 2010 yang lalu, penyumbang terbesar pembangunan bersumber dari sektor pertanian (termasuk subsektor perikanan), sebesar 28,13%. Sementara SDM di sektor ini, termasuk petani dan nelayan belum memiliki kemampuan teknologi dan akses informasi, mereka belum terberdayakan disebabkan berbagai faktor. Sehingga potensi yang besar belum optimal secara kuantitas kualitas. Karena itu, partai-partai bisa berperan dengan memunculkan calon anggota legislatif yang berkompeten bidang ini.
Jika yang dikeluhkan adalah regulasi pemerintah pusat menyangkut perbankan khususnya untuk petani, maka anggota legislatif perlu memaparkan fakta bahwa Aceh memiliki potensi pertanian. Legislatif perlu mendorong terbentuknya Bank Pertanian di Aceh. Begitu juga potensi ekspor hasil pertanian Aceh yang selama ini masih melalui kota Medan dan menambah volume ekspor impor Provinsi Sumatera Utara. Di sini setiap kebijakan strategis merupakan hasil share dua pihak, legislatif dan eksekutif secara proporsional berbasis ilmu dan kapasitas.
Kemampuan mengatur dan menetapkan siapa di antara massa/kader yang akan menjadi anggota legislatif akhirnya menjadi ciri partai modern. Akan sangat mudah jika pemilu menganut sistem proporsional tertutup, di mana calon yang menang adalah yang diharapkan oleh partai politik dan dibutuhkan oleh daerah.
Partai bisa mengatur calegnya dari berbagai disiplin ilmu dan profesi, tidak didominasi oleh satu profesi saja. Dengan begitu menjadi tidak penting berapa jumlah partai di Indonesia jika komitmen kebangsaan untuk menghadirkan kesejahteraan mampu diwujudkan oleh partai-partai berbasis massa kader seperti ini.
* Nourman Hidayat, SH, Ketua DPW PKS Aceh, Bidang Buruh Petani Nelayan/Anggota Komisi A DPRK Aceh Besar.