Jakarta - KH. Hasyim Muzadi, Presiden WCRP (World Conference on
Religions for Peace) dan Sekjen ICIS (International Conference for
Islamic Scholars) menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia
yang sempat muncul saat Sidang PBB di Jeneva.
Mantan Ketua umum PBNU itu mengungkap, munculnya isu tersebut dalam
pembahasan di forum dunia itu, pasti karena laporan dari dalam negeri
Indonesia. "Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim
mana pun yang setoleran Indonesia. Kalau yang dipakai ukuran adalah
masalah Ahmadiyah, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran
Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi Politik
Barat," paparnya.
Menurut Hasyim, jika Ahmadiyah menjadi agama tersendiri, pasti tidak
dipersoalkan oleh umat Islam. "Kalau yang dilihat dunia internasional
adalah kejadian di GKI Yasmin Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun
tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi
masalah nasional dan dunia unutk kepentingan lain daripada
menyelesaikan masalahnya," kata Hasyim.
Pembangunan gereja, kata Hasyim, harus mempertimbangkan faktor
lingkungan. Di Jawa, pendirian gereja memang cenderung sulit. Sama
halnya dengan di Kupang (Batuplat), pendirian masjid juga sangat sulit.
Belum lagi pendirian masjid di Papua. "Karena itu, ICIS selalu melakukan
mediasi," tegas Hasyim.
Hasyim mencontohkan kasus hadirnya Lady Gaga dan Irsyad Manji yang
menghebohkan negeri ini. "Bangsa mana yang mau tata nilainya dirusak?
Kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan
Intelektualisme kosong," tegas Hasyim.
Kalau ukurannya Hak Asasi Manusia (HAM), Hasyim menyorot kondisi di
Papua, dimana TNI/Polri dan Imam Masjid berguguran. "Mengapa tidak ada
yang menyebutnya sebagai pelanggaran bicara HAM?" ujarnya.
Di mata Hasyim, Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss,
yang sampai sekarang tidak memperbolehkan Menara Masjid. Juga lebih baik
dari Perancis yang masih mempersoalkan Jilbab. Indonesia pun lebih baik
dari Denmark, Swedia dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena
di sana ada UU Perkawinan Sejenis. "Agama mana yang memperkenankan
perkawinan sejenis?" kata Hasyim.
Begitu pula, hanya di Indonesia hari besar enam agama menjadi hari
libur nasional. Pendidikan enam agama juga dijadikan kurikulum sekolah.
Sementara di negara Barat, atau Arab sekalipun, hari besar agama hanya
untuk agama mayoritas saja.
Akhirnya, ujar hasyim, kembali kepada bangsa Indonesia. Kaum muslimin
sendiri yang harus sadar dan tegas untuk membedakan mana HAM yg benar
(humanisme) dan mana yang sekedar Weternisme.