Minggu, 03 Juni 2012

Hasyim Muzadi : Tuduhan Intoleransi Agama di Indonesia Tidak Berdasar



Jakarta - KH. Hasyim Muzadi, Presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) dan Sekjen ICIS (International Conference for Islamic Scholars) menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia yang sempat muncul saat Sidang PBB di Jeneva.

Mantan Ketua umum PBNU itu mengungkap, munculnya isu tersebut dalam pembahasan di forum dunia itu, pasti karena laporan dari dalam negeri Indonesia. "Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia. Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi Politik Barat," paparnya.

Menurut Hasyim, jika Ahmadiyah menjadi agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam. "Kalau yang dilihat dunia internasional adalah kejadian di GKI Yasmin Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia unutk kepentingan lain daripada menyelesaikan masalahnya," kata Hasyim.

Pembangunan gereja, kata Hasyim, harus mempertimbangkan faktor lingkungan. Di Jawa, pendirian gereja memang cenderung sulit. Sama halnya dengan di Kupang (Batuplat), pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. "Karena itu, ICIS selalu melakukan mediasi," tegas Hasyim.
Hasyim mencontohkan kasus hadirnya Lady Gaga dan Irsyad Manji yang menghebohkan negeri ini. "Bangsa mana yang mau tata nilainya dirusak? Kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan Intelektualisme kosong," tegas Hasyim.

Kalau ukurannya Hak Asasi Manusia (HAM), Hasyim menyorot kondisi di Papua, dimana TNI/Polri dan Imam Masjid berguguran. "Mengapa tidak ada yang menyebutnya sebagai pelanggaran bicara HAM?" ujarnya.

Di mata Hasyim, Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss, yang sampai sekarang tidak memperbolehkan Menara Masjid. Juga lebih baik dari Perancis yang masih mempersoalkan Jilbab. Indonesia pun lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena di sana ada UU Perkawinan Sejenis. "Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis?" kata Hasyim.
Begitu pula, hanya di Indonesia hari besar enam agama menjadi hari libur nasional. Pendidikan enam agama juga dijadikan kurikulum sekolah. Sementara di negara Barat, atau Arab sekalipun, hari besar agama hanya untuk agama mayoritas saja.

Akhirnya, ujar hasyim, kembali kepada bangsa Indonesia. Kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas untuk membedakan mana HAM yg benar (humanisme) dan mana yang sekedar Weternisme.