Jasa para pemulung mengangkut sampah
dari rumah ke rumah terkadang masih dipandang sebelah mata. Padahal
karenanya, banyak rumah terbebas dari sampah. Namun jangan harap rumah
mereka bersih dari sampah, karena justru sampah mereka kumpulkan demi
mendapatkan upah. Mereka hanya berfikir soal mendapatkan rupiah dan
harapan walaupun hasil kerja tidak mencukupi kebutuhan.
Seperti usaha rongsokan yang berlokasi
di Jalan Haji Rijin, Tugu Cimanggis, Depok yang menampung tiga belas
kepala keluarga (KK) pemulung. Dengan menempati lahan sewa sekitar 800
meter persegi, masing-masing KK pemulung disediakan rumah petak
nonpermanen berukuran 8 meter persegi oleh bos pengepulnya. Dindingnya
dari triplek dan kardus, atap seng, dan lantai tanah yang ditutup dengan
karpet plastik tebal.
Menurut Maryati yang sudah 20 tahun
berprofesi sebagai pemulung, bosnya menyewa tempat itu 8 juta rupiah per
tahun tetapi mereka tidak dibebani ongkos sewa. ” Yah beginilah, tempat
seadanya. Kalau hujan bocor dimana-mana,” ucapnya setengah bergumam.
Ketika ditanya pendapatan dari mulung
itu, Sirehman dan istrinya Sri Rahmayani mengaku bisa menjual barang
rongsokan seharga 700 ribu rupiah setiap lima belas hari sekali. Jenis
sampah rongsokan yang laku dijual gelas/botol plastik dihargai Rp1200
per kilogram. Kertas/kardus/karton dihargai Rp1000 per kilogram, besi
atau logam dihargai Rp3000 per kilogram, serta botol kaca kecap Rp200
per buah. Jadi setiap bulan rata-rata mereka bisa mengantongi 1,4 juta.
“Selain untuk hidup sehari-hari, saya juga sisihkan untuk anak saya
yang di kampung,” ujar Sirehman.
“Yang pasti untuk makan selalu ada,”
ujar Maryati yang juga memboyong anak cucunya dari kampung. Mereka
mengaku lebih memilih tinggal di Depok sebagai pemulung daripada di
kampung mereka di Jawa Timur.
” Di sini lebih mudah cari uangnya. Di kampung tidak punya sawah, jadi kadang kerja kadang tidak,” jelasnya lagi.