REPUBLIKA.CO.ID, CINCINNATI -- Kelompok advokasi Muslim AS
terkemuka CAIR mengajukan surat pengaduan resmi terhadap perusahaan
raksasa jasa pengiriman, DHL Express. Pengaduan tersebut dilakukan
setelah 24 pegawai Muslim DHL mengaku dipecat setelah melakukan shalat
berjamaah.
"CAIR telah memberitahu kewajiban perusahaan sesuai hukum untuk
mengakomodasi kewajiban pekerja untuk beribadah. Namun, bukannya
mematuhi hukum dan melakukan hal yang benar, DHL justru melanggar hak
asasi pekerja ini," ujar Direktur Eksekutif CAIR Karen Dabdoub seperti
dilansir On Islam.
Menurut siaran pers dari CAIR, mereka diberhentikan dari pekerjaannya
pada 9 Oktober karena menegaskan hak mereka untuk mendapatkan akomodasi
wajar untuk beribadah. Termasuk shalat lima waktu.
Bekerja di fasilitas Global Mail DHL di Hebron yang terletak di
Northern Kentucky, pekerja memanfaatkan waktu istirahat mereka selama
tiga sampai lima menit untuk shalat Maghrib. Perusahaan dilaporkan
memutuskan menghentikan waktu istirahat bebas sehingga menghalangi
pekerja perempuan dan laki-laki beribadah.
Berdasarkan informasi dari Kantor Sheriff Boone County, karena
peraturan tersebut 24 pekerja berhenti bekerja dan melakukan shalat
Maghrib diam-diam. CAIR menganggap tindakan DHL itu melanggar bab VII UU
Hak Sipil 1964 yang melarang diskriminasi terhadap individu karena
agama mereka saat dipekerjakan, diberhentikan dan syarat dan ketentuan
lain dari perusahaan.
Para pekerja mengatakan tidak mendapatkan waktu istirahat bebas untuk
shalat. Namun, pekerja lain bisa mendapat waktu istirahat untuk
merokok.
"Kami tidak punya pilihan. Kami harus berhenti bekerja dan shalat.
Kami tidak minta waktu istirahat tambahan," ujar Shahira Abdullah (21
tahun) yang diberhentikan sementara oleh DHL, seperti dikutip USA Today.
Meski tidak ada angka resmi, AS menjadi rumah bagi sekitar delapan
juta Muslim. Undang-undang negara bagian dan federal AS menyatakan
perusahaan harus mengakomodasi kebutuhan pekerja untuk beribadah,
kecuali mereka terlalu membebani perusahaan.