| Oleh Dra. Hj. Herlini Amran, MA
Memperingati peringatan hari kartini sejatinya kita harus membahas
ulang tentang judul buku yang beliau tulis “Dari Gelap Terbitlah Terang”
judul yang penuh makna tersebut konon diambil dari QS.Baqarah 256, dari
kalimat minadzhulamaati ilannuur, Dia (Allah) mengeluarkan mereka
(manusia) dari kegelapan menuju cahaya (iman). Sejauh ini belum ada
tulisan yang mencoba mengaitkan secara khusus dan detail tema buku
tersebut dengan Al Quran. Akan tetapi yang pasti, tulisan Kartini
tentang nasib perempuan di negeri ini telah menjadikan kebangkitan
perempuan tentang posisinya dalam kehidupan private dan public.
Dengan demikian, apabila orientasi Kartini adalah QS Al Baqarah maka
boleh jadi Kartini adalah sosok yang sangat religius. Ketidaksetujuan
Kartini terhadap budaya yang menjadikan perempuan sebagai pelengkap
kehidupan boleh jadi didorong oleh semangat Islam amar ma’ruf nahi
mungkar.
Terlepas itu semua, yang jelas Kartini telah berjasa menjadikan
perempuan Indonesia memperoleh hak-haknya sebagai warga negara, tentu
dapat dibayangkan apabila Kartini tidak menyerukan mungkin saja nasib
perempuan Indonesia tidak seperti saat ini.
Yang jelas, kebangkitan sejati perempuan, apabila menyadari
harmonisasi perempuan atau ibu dengan asas kehidupan utama, yakni
moralitas. Ibu dan moralitas adalah harmoni kehidupan yang apik, ibu
adalah penyambung kehidupan, sementara moralitas adalah penyelamat
kehidupan. Dan, pemilik kehidupan Tuhan Semesta Alam, akan selalu
melihat bagaimana setiap insan berperilaku secara bijak terhadap ibu dan
moralitas. Karenanya keduanya adalah jalan bebas hambatan menuju surga.
Seperti dalam sebuah hadist, “Surga dibawah telapak kaki Ibu”.
Kekuatan ibu dan moralitaslah yang telah juga melahirkan kebaikan,
keberhasilan, ketangguhan kehidupan sebuah bangsa. Ingatlah bangsa yang
besar sangat tergantung bagaimana ibu membesarkan anaknya, sehingga
tepatlah ungkapan yang mengatakan : al-Mar’ah ‘imad al-Bilad. Idza
shaluhat shulahat al-Bilad wa idza fasadat fasadat al-Bilad” (Perempuan
itu tiangnya negara. Apabila ia baik, maka baiklah negaranya. Dan
apabila ia rusak, maka rusaklah negara Itu. Ungkapan tersebut merupakan
poros utama kehidupan manusia yakni ibu dan moralitas. “Ibu adalah
madrasah atau sekolah pertama bagi anak-anaknya”. Sehingga, ibu sangat
menentukan kemajuan bangsa.
Persoalan utamanya adalah kesenjangan dalam akses pendidikan untuk
ibu dan perempuan. Banyak ibu-ibu yang pendidikannya rendah, oleh karena
itu perannya dalam mendidik anaknya sejak dini sangatlah terbatas.
Keterbatasan inilah yang menjadi keprihatinan kita dalam nasib perempuan
di negeri ini.
Apatah lagi, bila kita ingin menegakkan idealisme Islam tentang
perempuan tentu lebih berat lagi. Karena akan membutuhkan internalisasi
keislaman yang massif. Dan internalisasi nilai-nilai Islam hanya dapat
dilakukan manakala pendidikan memberikan ruang dan waktu yang tepat bagi
kaum muslim untuk belajar dan tumbuh sesuai fithrah Islam. Dengan
demikian, kebijakan-kebijakan pendidikan negara-negara muslim termasuk
Indonesia jangan sampai bertabrakan dengan fithrah Islam. Indonesia
hanya akan maju bila menjadikan Islam sebagai inspirasi utama dalam
setiap langkahnya. Ini yang perlu disadari, karena waktu telah
menunjukkan bahwa memajukan Indonesia dengan jalan menihilkan Islam
justru telah menunjukkan arah yang kontra produktif, misalnya ketika
Orba menjalankan kebijakan asas tunggal Pancasila, yang terjadi adalah
konflik terbuka atau terselubung antara Islam dan negara.
Demikian juga ketika Orla membuka hanya pada satu kelompok Islam
sementara memusuhi kelompok Islam yang lain, juga berujung pada konflik.
Untuk itu perlu disadari hubungan Islam dan negara, perlu memberikan
ruang yang luas bagi Islam untuk menemukan jatidirinya. Tanpa perlu
dicurigai sebagai usaha yang radikal, subversif, anti demokrasi dsb.
Stigma-stigma yang memang telah tertanam lama dalam pola pandang
sebagian elit di Indonesia terhadap Islam, khususnya terhadap Islam
politik.
Untuk itu, para pendidik, para politisi, para birokrat perlu mengkaji
ulang bagaimana pendidikan karakter dalam kebijakan pendidikan saat
ini. Apakah politik pendidikan Indonesia, memberikan ruang yang luas
atau terbatas bagi pendidikan Islam? Kalau memberikan ruang yang luas
ternyata belum menunjukkan hasil yang maksimal, tentu perlu mengkaji
apakah pelaksana pendidikan telah memiliki bekal yang cukup untuk
memberikan pendidikan berkarakter? Karena bagaimanapun nilai Islam
adalah ideal dan universal seperti yang telah dibuktikan di sebagian
negara-negara Barat. Untuk itu, kesadaran bahwa Islam adalah solusi bagi
Indonesia, perlu disosialisasikan sekaligus dibuktikan. Sehingga
masyarakat merasa tenang dan tentram bersama Islam, bukan sebaliknya
merasa takut dan tertekan. Untuk itu jalinan silaturahim elit Islam ke
seluruh kelompok dan golongan adalah upaya kongkrit yang terus harus
dilakukan agar Islam menjadi solusi di Indonesia.
Maka dari itu, tidak salah bila kita mengembalikan semangat Kartini,
maka sejatinya kita membahas tentang arti penting Islam bagi Indonesia.
Islam adalah berkah untuk Indonesia. Menganggap Islam bukanlah sesuatu
yang utama di Indonesia adalah pandangan utopis dan tidak mengerti
sejarah Indonesia.
Oleh karenanya, kearifan para pemimpin negeri ini untuk memuliakan
perempuan sangat tergantung bagaimana sikap mereka terhadap perkembangan
moralitas bangsa ini secara umum. Peran perempuan tidak harus dihitung
bagaimana peran perempuan dalam sector public, berapa jumlah politisi
perempuan di lembaga legislative? Berapa jumlah pejabat politik dan
karir dalam pemerintahan ? Dan pertanyaan lain yang berkisar tentang
kuantifikasi.
Memang peningkatan kuantitas perempuan dalam sector public adalah
penting. Akan tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana kebijakan
yang ada, dapat meningkatkan kapasitas perempuan dalam meningkatkan
kapasitas manusia Indonesia menjadi manusia yang sanggup bersaing dengan
bangsa lain. Hal ini saya kira jauh lebih penting ketimbang
membicarakan kuantitas peran perempuan di sector public.
Kita adalah bangsa besar yang membutuhkan manusia yang kokoh dan
mandiri agar mampu bersaing pada abad-abad mendatang. Dengan kondisi
saat ini, telah terjadi persaingan yang kuat antara negara, baik di
tingkat regional atau internasional, sangat miris jika kita hanya
menjadi pelengkap dalam silang dunia, meskipun secara geografis, posisi
indonesia sangat strategis.
Kesadaran nasib bangsa kita ke depan, sangat ditentukan dengan cara
pandang dan sikap kita pada kaum perempuan dan ibu yang menjadi pencetak
generasi mendatang. Apabila ibu dan perempuannya lemah baik dari sisi
moralitas, dan pendidikan maka masa depan bangsa ini akan suram. Namun
sebaliknya bila ibu dan kaum perempuannya kokoh dan mandiri maka
optimisme masa depan bangsa adalah sesuatu yang nyata.
Dengan demikian sudah saatnya, kita semua berpikir jernih agar
perempuan mendapatkan hak-haknya secara penuh, sehingga mereka mampu
melahirkan generasi muda Indonesia yang kuat di masa mendatang. Agar
kita tidak menyesal di kemudian hari nanti. Wallahu’alam.