PKSTapos__ Jakarta--
Pemilukada DKI Jakarta generasi kedua tahun ini dapat
dipastikan lebih semarak daripada Pemilukada 2007 silam. Selain jumlah
pasangan yang meningkat drastis dari dua menjadi enam pasang, posisi
Fauzi Bowo saat ini juga ‘diancam’ oleh dua kepala daerah lain yang
masih aktif menjabat.
Pertanyaan pentingnya, apakah Foke dijamin akan lolos melenggang ke balaikota 11 juli nanti? Kemungkinan besar tidak. Ada dua alasan utama.
Pertama, UU nomor 29 tahun 2007 mensyaratkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur wajib memperoleh suara di atas 50%. Perhitungan matematika sederhana menunjukkan sangat berat bagi seorang pasangan untuk merebut separuh lebih suara dari lima kandidat lainnya dalam satu putaran.
Kedua, faktor demografis. Hanya di Jakarta, porsi kelas menengah di tingkat provinsi mencapai hampir 50%. Data BPS terkini menunjukkan, penduduk Jakarta yang berpendidikan tamatan SMU mendekati 36%, sementara tamatan Perguruan Tinggi berada pada kisaran 14% dari total penduduk. Lalu, berbekal definisi bahwa kelompok menengah ialah mereka yang memiliki pengeluaran lebih dari satu juta rupiah dalam sebulan, ada 46% penduduk yang masuk dalam kategori ini.
Sudah menjadi ‘common wisdom’, kelompok menengah adalah komunitas pemilih kritis dan terdidik. Bila proposi pemilih ini melihat ada tawaran yang lebih menarik dari 5 kandidat lainnya, mereka tidak segan untuk mengalihkan suara dari kandidat petahana.
Tiga unsur pemenangan pemilukada
Lantas, variabel apakah yang dibutuhkan oleh kandidat penantang untuk menggeser ‘incumbent’? Setidaknya ada tiga variabel utama. Kekuatan figur, kekuatan mesin pemenangan, dan kekuatan finansial.
Kekuatan figur bukan hanya merujuk pada tingkat keterkenalan dan kesukaan publik kepada kandidat. Kekuatan figur yang dimaksud, lebih pada kompetensi yang tercermin dari rekam jejak kepemimpian kandidat. Dalam kategori ini, ada tiga kandidat yang bisa dinilai sangat kuat. Hidayat-Didik, Alex Nurdin-Nono Sampono dan Jokowi-Ahok.
Hidayat Nurwahid dapat dikatakan sebagai tokoh pemimpin nasional, karena pernah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2004-2009. Alex Nurdin dan Joko Widodo juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena memiliki pengalaman ‘eksekutif’ yang cukup lama di tingkat kabupaten kota atau provinsi.
Dalam hal kekuatan mesin pemenangan yang direpresentasikan oleh likuiditas dukungan kader dan relawan secara territorial, kandidat Faisal-Biem, Hidayat-Didik dan Hendardji-Riza dapat dikategorikan kuat. Lolosnya Faisal-Biem dan Hendardji-Riza secara mandiri tanpa dukungan partai politik, menunjukkan bahwa kedua kandidat jalur independen ini memiliki relawan yang mampu bergerilya secara riil memobilisasi dukungan hingga tingkat kelurahan.
Sementara, mesin pemenangan Hidayat-Didik yang resmi diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS)juga telah teruji oleh sejarah. Jumlah kader yang sangat banyak dan solid di ibukota, pernah membuat gabungan partai pendukung Fauzi-Prijanto pada pemilukada 2007 lalu kerepotan. Koalisi puluhan partai pengusung Foke-Prijanto yang memiliki gabungan suara 77,68% suara, ternyata hanya mampu mengumpulkan 57% suara pada pemilukada. Sementara Adang-Dani yang didukung oleh partai tunggal PKS saat itu tak disangka-sangka mampu meraih 42.2% suara, jauh di atas perolehan resmi PKS sebagai partai.
Di antara ketiga variabel di atas, kekuatan finansial-lah yang belum jelas tergambar. Kompetisi dua bulan ke depan yang akan menunjukkan kualitas daya dukung ekonomi para kandidat. Kekuatan ini bukan angka rupiah yang resmi dilaporkan oleh setiap kandidat ke KPUD. Secara riil kekuatan finansial, akan ditunjukkan oleh kemampuan setiap pasangan untuk melengkapi atribut tim sukses, frekuensi iklan di media massa dan gebyarnya event kampanye terbuka.
Tentu saja, pemenang pemilukada dua bulan mendatang tidak bisa dipastikan sekarang. Tetapi, bukan isapan jempol rasanya bila melihat kekuatan para penantang, peluang Foke untuk terpilih kembali dalam satu putaran tidak begitu cerah.
*) Rico Marbun
Peneliti The Future Institute, Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian & Universitas Paramadina
*kolom detiknews 16/05/2012
Pertanyaan pentingnya, apakah Foke dijamin akan lolos melenggang ke balaikota 11 juli nanti? Kemungkinan besar tidak. Ada dua alasan utama.
Pertama, UU nomor 29 tahun 2007 mensyaratkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur wajib memperoleh suara di atas 50%. Perhitungan matematika sederhana menunjukkan sangat berat bagi seorang pasangan untuk merebut separuh lebih suara dari lima kandidat lainnya dalam satu putaran.
Kedua, faktor demografis. Hanya di Jakarta, porsi kelas menengah di tingkat provinsi mencapai hampir 50%. Data BPS terkini menunjukkan, penduduk Jakarta yang berpendidikan tamatan SMU mendekati 36%, sementara tamatan Perguruan Tinggi berada pada kisaran 14% dari total penduduk. Lalu, berbekal definisi bahwa kelompok menengah ialah mereka yang memiliki pengeluaran lebih dari satu juta rupiah dalam sebulan, ada 46% penduduk yang masuk dalam kategori ini.
Sudah menjadi ‘common wisdom’, kelompok menengah adalah komunitas pemilih kritis dan terdidik. Bila proposi pemilih ini melihat ada tawaran yang lebih menarik dari 5 kandidat lainnya, mereka tidak segan untuk mengalihkan suara dari kandidat petahana.
Tiga unsur pemenangan pemilukada
Lantas, variabel apakah yang dibutuhkan oleh kandidat penantang untuk menggeser ‘incumbent’? Setidaknya ada tiga variabel utama. Kekuatan figur, kekuatan mesin pemenangan, dan kekuatan finansial.
Kekuatan figur bukan hanya merujuk pada tingkat keterkenalan dan kesukaan publik kepada kandidat. Kekuatan figur yang dimaksud, lebih pada kompetensi yang tercermin dari rekam jejak kepemimpian kandidat. Dalam kategori ini, ada tiga kandidat yang bisa dinilai sangat kuat. Hidayat-Didik, Alex Nurdin-Nono Sampono dan Jokowi-Ahok.
Hidayat Nurwahid dapat dikatakan sebagai tokoh pemimpin nasional, karena pernah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2004-2009. Alex Nurdin dan Joko Widodo juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena memiliki pengalaman ‘eksekutif’ yang cukup lama di tingkat kabupaten kota atau provinsi.
Dalam hal kekuatan mesin pemenangan yang direpresentasikan oleh likuiditas dukungan kader dan relawan secara territorial, kandidat Faisal-Biem, Hidayat-Didik dan Hendardji-Riza dapat dikategorikan kuat. Lolosnya Faisal-Biem dan Hendardji-Riza secara mandiri tanpa dukungan partai politik, menunjukkan bahwa kedua kandidat jalur independen ini memiliki relawan yang mampu bergerilya secara riil memobilisasi dukungan hingga tingkat kelurahan.
Sementara, mesin pemenangan Hidayat-Didik yang resmi diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS)juga telah teruji oleh sejarah. Jumlah kader yang sangat banyak dan solid di ibukota, pernah membuat gabungan partai pendukung Fauzi-Prijanto pada pemilukada 2007 lalu kerepotan. Koalisi puluhan partai pengusung Foke-Prijanto yang memiliki gabungan suara 77,68% suara, ternyata hanya mampu mengumpulkan 57% suara pada pemilukada. Sementara Adang-Dani yang didukung oleh partai tunggal PKS saat itu tak disangka-sangka mampu meraih 42.2% suara, jauh di atas perolehan resmi PKS sebagai partai.
Di antara ketiga variabel di atas, kekuatan finansial-lah yang belum jelas tergambar. Kompetisi dua bulan ke depan yang akan menunjukkan kualitas daya dukung ekonomi para kandidat. Kekuatan ini bukan angka rupiah yang resmi dilaporkan oleh setiap kandidat ke KPUD. Secara riil kekuatan finansial, akan ditunjukkan oleh kemampuan setiap pasangan untuk melengkapi atribut tim sukses, frekuensi iklan di media massa dan gebyarnya event kampanye terbuka.
Tentu saja, pemenang pemilukada dua bulan mendatang tidak bisa dipastikan sekarang. Tetapi, bukan isapan jempol rasanya bila melihat kekuatan para penantang, peluang Foke untuk terpilih kembali dalam satu putaran tidak begitu cerah.
*) Rico Marbun
Peneliti The Future Institute, Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian & Universitas Paramadina
*kolom detiknews 16/05/2012