Ragil Nugroho
PERSOALAN yang sepele: mana bertahan dan mana tersungkur.
Sedikit nostalgia. Tahun 1999, dua partai dari ideologi berbeda
bertarung dalam Pemilu. Partai Rakyat Demokratik (PRD) berada di kiri. Di seberangnya, Partai Keadilan (PK) memilih posisi kanan.
PRD mampu membangun tak kurang dari 14 cabang di tingkat provinsi dan
150-an cabang di level kabupaten. Hasilnya, sekitar 78.000 orang
memberikan suara pada partai bernomor punggung 16 ini. Prestasi yang
bagus.
Tapi, dari hari ke hari PRD semakin lingsir. Hingga pada satu titik:
kita akan kesulitan menemukan di mana kuburannya karena tak ada batu
nisan di atasnya. Sebaliknya, dengan modal tujuh kursi di Pemilu 1999,
PKS tambah moncer.
Tentu ada racikan yang diramu PKS sehingga mereka bisa menjadi empat
besar dalam Pemilu 2009—posisi yang sama dengan PKI dalam Pemilu 1955.
Tahun 1902 merupakan masa yang sulit bagi Lenin. Represi kekuasaan
luar biasa. Ibaratnya, daun yang luruh dari tangkainya bisa dicurigai
melawan kekuasaan. Ruang gerak sumpek. Mengatasi situasi ini, Lenin
menulis risalah: What is to be Done?—Apa yang Harus Dilakukan?
Saat ini, di kalangan gerakan kiri Indonesia, risalah Lenin tersebut
telah berdebu karena jarang dibuka. Disimpan rapi di rak keramat sebagai
kitab suci. Tapi tak perlu trenyuh, risalah itu akan menemukan
pembacanya di tempat lain.
Apa yang Harus Dilakukan? tak rumit. Hanya panduan
ringan tentang membangun organisasi politik yang tak amatiran. Karena
situasi tak bebas bernapas, maka organisasi harus ketat dengan disiplin
yang tinggi. Tujuannya, agar penguasa tak mudah memukul. Ada sel-sel
yang saling mengunci.
PKS rupanya mencerap risalah Lenin itu. Mereka menyesuaikannya dengan
bumi Indonesia. Lumrah saja. Lain tanah beda kadar airnya. Orba dan
tentaranya yang bengis, memaksa organisasi-organisasi yang memberontak
bergerak di bawah tanah. Embrio PKS, kelompok Tarbiyah, menghimpun massa
melalui halaqah (kelompok diskusi), juga bergerak klandestin.
Ada proses yang berliku. Tak bisa sekali entak.
Tarbiyah tak terbuka, tapi bergerak bak gurita, menguasai
lembaga-lembaga kampus, menjadikan masjid sebagai tempat konsolidasi. Ia
tak mendongak, tapi berlaku sejajar. Mereka tak melulu bicara
surga-neraka, tapi juga bicara politik—mengkritisi Orba. Catatan Greg
Fealy, dkk, dalam buku Zealous Democrats: Islamism and Democracy ini Egypt, Indonesia and Turky, menunjukkan pada penghujung tahun 1990-an terdapat sekitar 10-15 persen mahasiswa yang menjadi bagian dari kelompok Tarbiyah.
Tak mengejutkan ketika Soeharto limbung, kelompok Tarbiyah siap. Tak mau mengambil sikap seperti Menshevik yang emoh
mengambil bagian dalam revolusi 1905, dan sekali lagi mengikuti Lenin,
kelompok Tarbiyah kemudian membentuk KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia). Mereka berkesimpulan: sudah saatnya beradu jidat
dengan Orba. Dan, ketika Soeharto ambruk, 50 orang pelopor
mendeklarasikan Partai Keadilan.
Sukses menerapkan Apa yang Harus Dilakukan?, PKS tak berlega
diri. Sementara gerakan kiri masih mabuk dalam keseakanan sebagai
satu-satunya kekuatan yang menumbangkan Orba, PKS bekerja pada alam
nyata. Setelah revolusi 1905, Lenin membuka organisasi. PKS
menerapkannya. Mereka membuka diri. Pilihan ini sukses.
Ada kutipan dalam buku Greg Fealy, dkk, yang dipetik dari wawancara dengan kader PKS: ‘Mari kita perbaiki jalanan berlubang dan sediakan sanitasi yang bagus sebelum berpikir memaksakan perempuan berkerudung.’
Inilah ciri partai yang berkehendak besar: tak asal revolusioner; tahu
persis tanah tempat diinjak. Kontras dengan gerakan kiri Indonesia yang
selalu tampil atraktif dengan kaos dan ikat kepala warna merah,
mengacungkan tangan kiri sambil melantunkan lagu suci Internationale dan setelah itu teriak sosialisme sekarang juga. PKS menempuh cara lain.
Jalan mereka bisa disebut karitatif dan remeh temeh—kerja: bakti,
donor darah, sembako murah, pemeriksaan kesehatan gratis, pengajian atau
sekadar jalan sehat. Toh dengan cara yang tak mesti mengandalkan urat
leher mau melenting karena teriakan-teriakan yang nyaring di jalanan,
PKS bisa menghimpun massa yang besar. Catatan Greg Fealy, dkk,
berbicara: ‘PK memiliki anggota 33.000 pada pemilu 1999; dan PKS,
400.000 pada pemilu 2004. Target jangka panjang ialah dua juta
anggota.’
Memang perlu dikelupas lebih dalam lagi.
Bagi yang alergi kekuasaan, ada karya Lenin yang ditulis setelah revolusi Oktober 1917: Komunisme ‘Sayap Kiri’: Suatu Penyakit Kekanak-kanakan.
Risah ini ditulis untuk mengatasi jalan buntu ketika situasi tak
revolusioner. Saat gelombang revolusi menerjang, dengan mudah orang akan
mengangkat tangan kiri. Bila situasi sebaliknya, satu persatu akan
meninggalkan perjamuan. Tapi bukan berarti tak terpecahkan. Dalam
situasi yang biasa-biasa saja, Lenin menekankan pentingnya partai
komunis mengambil strategi bekerjasama dengan kekuatan lain. Dan, bila
memungkinkan ikut ambil bagian dalam pemerintahan yang berbasis luas.
Artinya, tinggalkan molotov dan batu, untuk kemudian ambil bagian dalam
kekuasaan.
PKS menempuh jalan serupa. Mereka mendukung kekuasaan yang bagi
mereka demokratis. Orang boleh mencemooh langkah ini kompromis, tak
revolusioner atau ejekan lainnya. Tapi mereka justru cerdas. Dengan
melibatkan diri dalam kekuasaan, mereka berlatih untuk memerintah dan
bertarung secara terbuka dalam arena yang disediakan borjuasi. Sehingga,
ketika kelak menjadi partai penguasa, mereka telah terbiasa.
PKS juga terbiasa bertempur di tingkat lokal. Sampai tahun 2008,
mereka menang dalam 53 pilkada—baik calon mereka sendiri maupun lewat
koalisi. Melalui cara ini mereka telah belajar membangun front yang luas
sebagai disarankan Lenin. Membangun front mendidik organisasi tak gede
kepala. Tahu kapan berkompromi dan saat mempertahankan pijakan.
Belum waktunya berhenti. Ada kunci lain yang menjadikan PKS bisa membesar.
Satu lagi risalah Lenin yang mereka pegang teguh: Dari Mana Kita Mulai? Dalam risalah singkat ini Lenin menekankan pentingnya organ sentral—koran partai. Disaat gerakan kiri di Indonesia menganggap sepele peran koran, karena lebih suka ber haha hihi lewat media virtual sembari mengunggah foto saat dan setelah aksi, PKS justru istiqomah menjalankan risalah Lenin itu.
PKS memunyai organ sentral: Saksi. Inilah media yang menebarkan putik-putik gagasan politik PKS. Lewat Saksi, PKS bicara pada kader-kadernya. Fungsi Saksi sama dengan fungsi koran
menurut Lenin: perancah yang menghubungkan bangunan organisasi. Selain
itu, masih ada terbitan yang tak beralifiasi dengan partai tapi
memberikan sokongan. Sebut saja Tarbawi—media yang memberikan penguatan ideologi keislaman—Ummi—majalah
untuk ibu-ibu muslim sebagai panduan berumahtangga dan mendidik anak.
Dan, untuk remaja yang menyukai sastra disediakan Annida. Tiras masing-masing terbitan tersebut di atas limapuluh ribu eksemplar.
Tak bisa ditampik lagi.
Hanya ada dua pilihan bagi gerakan kiri di Indonesia saat ini: setia
meratap di tembok derita, atau menempuh cara PKS: belajar pada Lenin.***