| Oleh Ahmad Ahid, Lc.
Kasus yang menimpa AF dan LHI terkait dengan suap impor daging semakin tidak terkendali. KPK dengan nafsunya terus melakukan razia di lorong-lorong sempit kehidupan mereka berdua yang tidak ada kaitannya sama sekali. Media dengan bergairahnya menyajikan sajian berita kasus hukum bagaikan infotainment atau berita selebriti. Di sisi lain, ia memposisikan dirinya seperti hakim yang menjustice lebih dulu sebelum pengadilan. Para pengamat amatiran yang tendensius merasa diberikan angin segar untuk mengeksistensi dirinya dan mengangkat popularitasnya. Orang-orang yang merasa terancam kepentingan dan posisinya merasa di atas angin, bertengger gagah bak berhala. KPK terus melakukan aksi dan gebrakan-gebrakan baru seolah-olah kasus ini heboh, tenar, besar dan benar bagaikan seorang koki yang asyik merancang dan meracik bumbunya sesuai dengan seleranya, tapi ia lupa kepada bahan “daging” masakannya.
Bahan
“daging” masakan kasus ini adalah dugaan suap impor daging yang
dilakukan oleh Direktur PT. Indoguna kepada Mentan, Suswono (kader PKS)
melalui AF, seorang makelar atau calo yang kebetulan punya kedekatan
secara pribadi dengan LHI yang merupakan Presiden PKS kala itu. AF
dengan gaya retorika dan diplomasinya berhasil meyakinkan direktur PT.
Indoguna bahwa keinginan bertambahnya jatah kuota impor daging untuk
tahun 2013 bisa terwujud. Langkah dan strategi AF pun direstui oleh sang
direktur. AF mengusulkan diadakannya seminar uji publik tentang data
kebutuhan daging nasional. Harapannya, hasil seminar itu dapat dijadikan
sebagai masukan kepada Mentan agar merubah kebijakannya. AF meminta
uang untuk biaya seminar kepada sang direktur. Dan betul, dana 1 milyar
mengucur kepada AF.
AF segera melaksanakan aksinya. Ia segera
menghubungi LHI untuk bisa bertemu di hotel le Meridien. Dengan strategi
ini, AF optimis LHI dapat mempengaruhi Mentan yang merupakan kadernya
untuk merubah kebijakan kuota impor daging. Namun, rencana AF gagal
total karena LHI tidak bisa datang, ia sedang sibuk rapat partai. Karena
kecewa, AF melampiaskan kekecewaanya dengan mencolek M yang sedang
asyik ‘ngafe’ bersama teman-temannya di kafe hotel. Nah dasar otak
bejat, ia ambil 10 juta dari uang seminar untuk kencan dengan M di
sebuah kamar hotel. Di sinilah mereka tertangkap tangan oleh KPK.
Segala
peralatan masak dan bumbu-bumbunya pun disiapkan KPK. “Peralatan Masak”
media melaksanakan fungsinya. Sejak malam penangkapan Fathanah di susul
penangkapan LHI pada malam berikutnya hingga detik ini, alat masak ini
terus bekerja sesuai dengan perintah kokinya. Asap dan bau masakan sedap
pun menyeruak menghampiri setiap penciuman orang-orang yang kelaparan
dengan kehancuran partai yang sangat solid dan getol dengan perjuangan
antikorupsi ini.
Bumbu-bumbu yang disiapkan koki juga banyak.
Saking banyaknya, koki lupa sendiri dengan efek rasa yang ditumbulkan
dari bumbu tersebut, sehingga sering berganti-ganti bumbu. Bumbu
pertama, adalah AF merupakan sopir pribadi LHI, berganti menjadi staf
ahli, orang kepercayaan, orang dekat, kader atau pengurus PKS dan
lain-lain. Dari sini, LHI dipastikan terlibat dalam kasus suap impor
daging karena memiliki hubungan khusus dengan AF dan ada bukti sadapan
pembicaraan mereka sebelum penangkapan. Semua alat masak dan jurus pun
dimainkan oleh koki bak sang Kungfu Cheaf atau Master Cheaf dengan
keyakinannya yang kuat, pasti masakannya hebat dan rasanya mantap. Ia
sering mengatakan, “nanti kita buktikan di pengadilan”.
Sejak
kasus ini muncul, dilanjutkan dengan fakta persidangan pertama, Jumat,
17 Mei 2013 dan hingga detik ini keterlibatan LHI dalam kasus ini dengan
dugaan menggunakan pengaruhnya belum terbukti, sebab kuota impor daging
juga tidak berubah tambah, bahkan turun setiap tahunnya. Meski
demikian, koki dan alat masaknya terus saja memaksakan kehendak dengan
menggunakan bumbu ini karena dianggap mampu menghasilkan cita rasa yang
istimewa. Namun seiring dengan perjalanan waktu, koki mulai ngerti kalau
bumbunya tidak tepat, akhirnya ia beralih ke bumbu yang lain. Tapi ia
tidak mau minta maaf atas kesalahan racikan bumbunya. “Lha gimana lagi,
bumbu sudah kadung bercampur dengan daging, masa mau dicabut, ya susah”
uangkapnya dalam hati.
Koki mencoba memasukkan bumbu berikutnya ke
dalam daging yang sudah bercampur dengan bumbu sebelumnya, yaitu pasal
TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Segera saja, tidak butuh waktu
lama, koki menelusuri harta dan kekayaan AF dan LHI. Rumah, mobil dan
rekening pribadi disita. Dari rekening pribadi, diketahui ada aliran
dana mengalir ke sejumlah wanita cantik dengan jumlah yang aduhai.
Muncullah nama AA, VS, DK, KA dan lain-lain, bahkan diperkirakan
mencapai 45 orang. Uang atau barang yang pernah mereka terima dari AF
harus diserahkan ke koki. Kalaupun sudah habis dipakai untuk kebutuhan
konsumtif, harus juga diserahkan meskipun dengan cara nyicil.
Tidak
kalah dengan AF, LHI pun diperlakukan sama. Rumah dan mobilnya disita.
Dalam penyitaan mobil, sang koki karena merasa kuat dan jagoan lupa
membawa surat perintah penyitaan, itupun dilakukan di malam hari.
Sehingga sekuriti DPP PKS tidak mengijinkan penyitaan dan diminta datang
besoknya dengan membawa surat tersebut. Namun, sang koki malah
marah-marah dan menyegel 6 mobil bahkan mengancam akan menyegel kantor,
padahal dari 6 mobil yang diparkir di halaman kantor, hanya 1 yang
merupakan miliki LHI, yang lainnya inventaris kantor untuk operasional
dan milik kader. Esok harinya, sang koki datang, tidak untuk menyita,
tetapi untuk menyerahkan surat pemanggilan kepada Ketua Dewan Syuro dan
Presiden PKS. Melihat sikap dan gaya sang koki seperti itu, DPP PKS
melaporkan sang koki ke Mabes POLRI. Meski terbukti tidak membawa surat
penyitaan, sang koki tetap saja mengaku membawa surat tersebut. Karena
kalap, sang koki melirik bumbu baru; PKS melawan KPK.
Di samping
rumah dan mobil, sang koki juga menelusuri rekening LHI. Dari rekening
itu, diketahui ada aliran dana 10 juta ke rekening seorang pelajar SMK
yang bernama DM. Alat masaknya segera menelisik-nelisik daging dan
muncullah asap baru beraroma lain, DM adalah istri sirrinya LHI. Para
penikmat masakan koki ini semakin bernafsu untuk segera mencicipi daging
ini. Mereka ramai memperbincangkan nikah sirri, dan apalagi nikah
dengan gadis di bawah umur. Aroma semakin menggoda. Karena sudah
tergoda, mereka tidak memperdulikan pernyataan keluarga DM, bahwa yang
punya hubungan itu adalah LHI dengan bapaknya DM, sebatas hubungan
kerja. Uang yang ditransfer LHI adalah uang untuk bapaknya DM setelah
melakukan kerja dengan LHI, dipakainya rekening DM karena rekening
bapaknya DM sudah tidak aktif. Bumbu baru pun sekarang dimainkan;
melanggar pasal perlindungan anak, mengidap pedofilia, kasusnya sama
dengan Aceng Fikr, Syekh Puji dan lain-lain.
Para pakar hukum
pidana dan tim perumus Undang-Undang TPPU dari DPR RI mulai angkat
bicara. Mereka sepakat bahwa ada sesuatu yang salah dalam pengusutan
kasus ini. Mereka mengatakan bahwa pasal TPPU hanya bisa dikenakan jika
ada tindak kriminal asal (predicate crime). Nah, dalam kasus ini,
tindak kriminal asal tidak terbukti, mengapa diberlakukan TPPU?
Kemudian, penyitaan harta pelaku itu dilakukan ketika TPPU sudah
terbukti. Nah, ini TPPUnya nggak punya landasan, kok sudah main sita
saja.
Apa yang dilakukan sang koki, dikatakan tidak berdasar dan
terlalu dini oleh Prof. Romli, salah satu pakar hukum pidana yang
mengatakan: “Kalau KPK hanya bisa menyampaikan pada publik pasal TPPU,
berarti tindak pidana asalnya masih dicari”. “Saya juga prihatin. Tindak
pidana asalnya kelihatannya KPK masih mencari. Belum jelas. Tiba-tiba
cuci uang”. “Terlalu dini juga diungkap kepada publik aliran dana
Fathanah kemana-mana”, “Untuk mengatakan seseorang menerima hasil tindak
pidana, harus jelas dulu tindak pidana asalnya”.
Akankah sang
koki akan menghentikan masak dagingnya karena salah bumbu? Ataukah akan
meneruskan masakannya untuk memuaskan nafsu para penikmat yang sedang
kelaparan itu?