Ada Dugaan Parpol Berlomba Cari Dana untuk Pemilu 2014
Senin, 16 Mei 2011 | 02:24 WIB
Jakarta, Kompas - Partai politik saat ini tersandera kasus-kasus korupsi anggotanya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Praktik saling sandera itu merupakan gaya politik Orde Baru yang bertujuan mengganggu parpol pesaing, terutama dalam persiapan Pemilu 2014. Parpol pun disibukkan oleh penyelamatan citra, melupakan kepentingan rakyat.Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Farid Wajdi mengatakan, fenomena itu menunjukkan parpol menjadi bagian dari masalah bangsa ini.
”Yang jelas, masalah bangsa ini semakin sempurna rusaknya tatkala bagian dari masalah itu adalah parpol. Bandul korupsi kini berpindah dari birokrasi ke parpol. Ini bagian dari tragedi bangsa tatkala masalah kebangsaan yang seharusnya diselesaikan melalui artikulasi parpol di DPR justru makin jauh dari harapan,” ujar Farid di Medan, Sabtu (14/5).
Menurut Farid, parpol telah melupakan rakyat sebagai majikan sekaligus konstituen mereka. Rakyat hanya dimanfaatkan untuk bargaining politik, untuk menentukan posisi tawar dalam kekuasaan. ”Negeri ini dibangun untuk menyejahterakan rakyat seperti tertuang dalam konstitusi kita, bukan untuk segelintir orang yang menggunakan parpol merusak sendi bangsa ini. Rakyat harus kritis menghukum parpol dengan tidak lagi memilih mereka dalam pemilu,” katanya.
Pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, makin banyaknya parpol yang anggotanya tersangkut korupsi menunjukkan bahwa Indonesia belum siap mempraktikkan demokrasi.
”Karena demokrasi harus berkembang seiring dengan tegaknya aturan. Sekarang hukum kita agak ketinggalan, jadi orang berdemokrasi dengan bebas, tetapi aturannya enggak jalan. Akibatnya, kreativitas muncul untuk kepentingan masing-masing. Jadi, demokrasi bukannya menimbulkan manfaat, tetapi mudarat, jadi kacau kita,” kata Jimly.
Pengumpulan dana
Menurut Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Bidang Hukum dan HAM Trimedya Panjaitan, kondisi saling sandera itu mengulangi zaman Orde Baru. ”Dahulu Orde Baru sering melakukan kriminalisasi untuk menyingkirkan lawan politiknya. Sekarang, hal hampir sama terulang,” kata Trimedya, Minggu, di Jakarta.
Secara akal sehat, lanjut Trimedya, mereka yang berpotensi menyandera adalah yang memiliki kekuasaan. Pihak yang mudah disandera adalah yang tidak punya kekuasaan.
Bambang Soesatyo, Wakil Bendahara Umum Partai Golkar, menambahkan, jika ada kader partai diduga terlibat dalam korupsi proyek di kementerian, hal itu terkait kondisi partai saat ini yang sedang berlomba mencari pendanaan untuk operasionalisasi partai dan Pemilu 2014. Apalagi, sebagian besar partai belum memiliki sumber dana internal yang mantap.
”Ada partai yang lalu mengharapkan pengumpulan dana ini dari kadernya. Kondisi diperparah ada politisi yang belum mapan secara ekonomi saat terjun ke politik, bahkan menjadikan politik sebagai area mencari keuntungan ekonomi,” katanya.
Tuntutan pengumpulan dana itu, lanjut Bambang, terutama dihadapi bendahara partai karena pengurus partai ada yang tidak mau tahu kondisi keuangan partai. Yang penting, setiap ada kegiatan partai, harus ada uang.
Untuk mengatasi keadaan itu, ada kader yang lalu jual nama parpol untuk mendapatkan dana, misalnya dari proyek di kementerian. Padahal, tidak ada jaminan semua dana yang diperoleh diserahkan ke partai. Menurut Bambang, sekarang semua dapat dijadikan persoalan dan parpol dalam posisi saling serang. Kondisi itu, kata Bambang, dirasakan Golkar dalam kasus mafia pajak yang diduga melibatkan perusahaan Grup Bakrie.
Menurut Ikrar Nusa Bhakti, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kondisi itu diduga karena hampir semua parpol berusaha menggunakan posisi kadernya di parlemen dan kabinet untuk meraup uang, berapa pun besarnya. Berbagai celah untuk mendapatkan uang pun dimanfaatkan.
Selama ini partai memperoleh sumber dana antara lain dari iuran anggota, pemotongan penghasilan anggota Dewan, bantuan pemerintah, dan sumbangan publik. Kemungkinan salah satu sumbernya adalah dari posisi kader yang menjabat di legislatif dan eksekutif. ”Partai butuh ongkos politik besar, entah untuk pendidikan kader, berbagai program, pemenangan kepala daerah lewat pilkada, atau pemenangan pemilu. Mungkin saja sebagian sumbernya dicari lewat jalan tidak halal,” katanya.
Koordinator Divisi Monitoring Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menilai politikus parpol memang masih rentan terlibat dalam penyimpangan dan korupsi. Masalahnya, sebagian politikus di legislatif atau eksekutif tidak memiliki integritas dan rekam jejak yang baik.
Belum maksimal
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Shiddiq, Minggu, di Jakarta, mengakui parpol belum maksimal melaksanakan fungsinya. Tidak sedikit parpol yang terjebak masalah internal dan disibukkan oleh permasalahan yang dihadapi anggotanya.
Menurut Mahfudz, kasus-kasus yang menimpa anggota parpol terjadi lantaran parpol belum maksimal melakukan konsolidasi internal. Bahkan, sering kali relasi antara parpol dan para anggotanya hilang begitu saja setelah mereka terpilih menjadi anggota parlemen. ”Ini kelemahan partai, sistem kontrol terhadap anggota lemah. Kalau kontrol lemah, maka parpol akan disibukkan oleh masalah yang dilakukan anggotanya,” kata Mahfudz.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustopa menambahkan, permasalahan yang menimpa anggota parpol akan memengaruhi kinerja parpol. Minimal, kepercayaan publik terhadap parpol yang anggotanya bermasalah akan turun. Apalagi, lanjut Saan, saat ini harapan masyarakat terhadap kader parpol, terutama yang menjadi anggota parlemen, cukup tinggi.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kader benar-benar melaksanakan komitmen partai. ”Ini yang harus menjadi bahan parpol untuk otokritik ke depan. Bagaimana anggota mewujudkan komitmen parpol,” ujarnya.
Dikatakan Jimly, kondisi yang terjadi saat ini karena Indonesia mengalami krisis kepemimpinan. ”Hukum harus ditegakkan, tetapi butuh satu kepemimpinan yang diharapkan menjadi contoh dari atas ke bawah. Kepemimpinan yang efektif menggerakkan roda organisasi. Dengan itu, baru hukum jalan. Kalau hukum jalan, otomatis kebebasan berdemokrasi diimbangi aturan,” katanya.
Menurut Jimly, parpol juga mengalami krisis kepemimpinan sehingga hanya satu orang, baik ketua umum maupun ketua dewan kehormatan partai, yang menjadi penentu. Demokrasi malah tidak berkembang di parpol. Dia mengusulkan agar parpol bisa dihukum langsung oleh rakyat. ”Yang namanya recall oleh parpol harus ditiadakan, diganti dengan recall oleh konstituen. Seperti sekarang ini anggota DPD bisa di-recall oleh daerah pemilihan provinsi masing-masing,” kata Jimly. (BIL/IAM/NTA/NWO)
sumber : kompas.com