Golkar Gentar, SBY Trauma
Pada 2 April 2012, dua hari setelah DPR memutuskan mengesahkan penambahan Pasal 7 ayat 6a pada UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN-P 2012, yang memberi kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dengan persyaratan tertentu itu, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dengan sangat bangga mengklaim bahwa usulan penambahan ayat 6a tersebut adalah usulan dari Golkar (Okezone.com, 02/04/2012). Para kader Golkar pun dengan bangga menyatakan kehebatan parpol-nya karena dengan sukses pula mengarahkan rapat paripurna itu memutuskan demikian.
Namun rasa bangga tersebut tidak berlangsung lama. Rasa bangga itu kini berubah menjadi rasa tidak percaya diri, dan gentar. Yakni, ketika pakar Hukum Tata Negara Yusiril Ihza Mahendra mempersoalkan keberadaan Pasal 7 ayat 6a tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril telah mendaftar permohononan uji materi dan uji formal ayat tersebut ke MK, dan kini menunggu untuk disidangkan setelah Presiden menandatangani UU APBN-P (= Politik, eh Perubahan tersebut).
Alasan Yusril mengajukan judicial review Pasal 7 ayat 6a tersebut karena menurutnya secara materi terutama sekali bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sedangkan secara formil bertentangan dengan ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan, yang mewajibkan sebuah peraturan perundang-undangan yang disahkan harus memenuhi beberapa asas. Di antaranya adalah asa kejelasan dan kepastian hukum, yang menurut Yusril tidak terdapat di ketentuan Pasal 7 ayat 6a tersebut.
Rasa gentar itu tercermin dari harapan yang dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso kepada Yusril Ihza Mahendra agar tidak melanjutkan niatnya menggugat keberadaan Pasal 7 ayat 6a tersebut, karena reputasi Yusril yang selalu menang dalam kasus-kasus hukum serupa.
“Saya tidak anjurkan Anda untuk gugat (uji) ke MK karena reputasi Anda selama ini selalu menang di sana. Saya sarankan pikir ulang,” kata Priyo dalam acara diskusi tentang hal tersebut pada 4 April 2012, yang direspon Yusril hanya dengan senyuman (Kompas.com, 04/04/2012).
Priyo telah jujur dan sepantasnya menyampaikan rasa gentar Golkar terhadap gugatan Yusril tersebut. Karena memang kalau kita pelajari isi ayat 6a tersebut, argumen yang disampaikan oleh Yusri itu sangat masuk akal, dan seharusnya diterima oleh MK.
Mungkin untuk argumen yang menyebutkan ayat tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 masih bisa diperdebatkan, yang membuat MK bisa berbeda pendapat. Tetapi, untuk ketentuan di dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan, tidak bisa dielak lagi bahwa ayat 6a itu telah melanggar. Khususnya mengenai asas kepastian hukum.
Pasal 6 ayat 1i dengan jelas menyebutkan bahwa materi muatan suatu Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum.
Sedangkan apa yang diatur di ayat tambahan itu (ayat 6a) tidak mempunyai unsur kepastian hukum. Pemerintah diberi kewenangan untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM bersubsidi apabila ICP naik di atas 15%.
Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa patokan ICP adalah USD 120,75/barel. Artinya jika ICP naik di atas harga itu, maka otomatis pemerintah berwenang dan akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Pertanyaannya adalah kapan itu terjadi? Tidak dapat dipastikan, bukan? Bisa saja tiba-tiba besok ICP itu naik melebihi USD 120,75/barel, dan pemerintah pun segera mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi di dalam negeri. Hitung-hitungan bisnis pun bisa kacau.
Yang aneh adalah respon pemerintah (SBY) terhadap gugatan Yusril tersebut. SBY dan para menterinya kelihatannya tenang-tenang saja. Padahal justru pemerintahlah yang akan menanggung akibatnya secara langsung apabila MK menerima gugatan Yusril tersebut (menyatakan ayat 6a itu melanggar hukum, dan dinyatakan tidak berlaku).
Mungkin pemerintah (SBY) sudah trauma pula, maka itu mereka seolah-olah diam saja. Karena sebelumnya pemerintah (SBY) sudah dua kali dikalahkan oleh Yusril Ihza Mahendra di MK. Jangan-jangan ini adalah untuk ketiga kalinya mereka akan dipermalukan Yusril.
Yang pertama adalah soal keabsahan jabatan Jaksa Agung yang mencekal Yusril dalam kasus Sisminbakum, dan yang kedua adalah moratorium remisi untuk napi koruptor. Kalau sampai MK memenangkan Yusril lagi, maka berarti untuk ketigakali berturut-turut pemerintah (SBY) dipermalukan oleh orang yang sama.
Ironisnya, ayat 6a tersebut bukan hasil inisiatif dari pemerintah/Demokrat. Mereka terpaksa mengikuti maunya Golkar dengan opsi tersebut. Setelah disahkan DPR, pemerintah “terpaksa” pula melaksanakannya. Dan, sekarang kena gugatan Yusril. Kalau sampai Yusril menang, maka yang menanggung akibatnya lagi-lagi pemerintah (SBY). Bukan Golkar atau Aburizal Bakrie.
Kalau MK menolak gugatan Yusril pun, ketika unsur ayat 6a itu terpenuhi, dan pemerintah menaikkan harga BBM, maka yang menanggung akibatnya juga adalah SBY. Bukan Aburizal Bakrie, bukan pula Golkar yang sebagai inisiator ayat 6a itu. Yakni, kalau SBY benar-benar nanti menaikkan harga BBM berdasarkan Pasal 7 ayat 6a itu, maka kemungkinan besar unjuk rasa anti kenaikan harga BBM akan kembali terjadi secara besar-besaran. Bedanya, mereka tidak akan datang lagi ke DPR, tetapi semuanya tumpah-ruah, fokus ke Istana Negara saja. Seperti yang saya tulis di tulisan saya yang lalu (Perangkap Golkar di Balik Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012).
Benar-benar Golkar telah “mempermainkan” nasib pemerintahan SBY. Sedangkan para kader Demokrat tidak bisa berbuat apa-apa, selain marah-marah kepada PKS.
Benar-benar tragis nasib SBY dan Demokrat di tangan Golkar.
Makanya, kalau mau berteman (baca: koalisi) lihat-lihat orangnya dulu. (kompasiana)