PKS Tapos,
VIVAnews – Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dirilis 14 Oktober 2012 menunjukkan, tak ada partai politik Islam yang mendapat suara lebih dari lima persen apabila pemilihan umum digelar hari ini. Selang sehari, 15 Oktober 2012, Lembaga Survei Nasional (LSN) juga mengeluarkan hasil surveinya yang menunjukkan temuan serupa: partai-partai Islam bakal makin terpuruk pada Pemilu 2014.
LSN menyatakan tingkat dukungan publik terhadap partai berbasis Islam cenderung menurun. Sementara LSI Lingkaran mengatakan jebloknya suara partai Islam disebabkan oleh turunnya dukungan terhadap tokoh parpol terkait secara signifikan, dan makin diakomodirnya kepentingan umat Islam oleh parpol nasionalis. PDIP misalnya memiliki sayap Baitul Muslimin, Golkar memiliki Pengajian Al Hidayah, dan Demokrat memiliki Majelis Dzikir SBY Nurussalam.
Di antara sejumlah partai Islam dan partai berbasis massa Islam yang elektabilitasnya disurvei anjlok itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan yang perolehan suaranya terbesar pada Pemilu 2009. PKS bahkan berada di urutan keempat teratas pada Pemilu 2009. Namun kini berdasarkan hasil survei LSI Lingkaran, peringkat lima besar pun tak mampu ditembus oleh PKS maupun partai-partai Islam lainnya. “Ini pertama kalinya partai Islam tidak masuk lima besar,” kata peneliti LSI Lingkaran, Adjie Alfaraby.
Lantas bagaimana tanggapan PKS atas hasil survei itu? Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq langsung menanggapi temuan itu. Berikut wawancara reporter VIVAnews, Suryanta Bakti Susila, dengan pria kelahiran Malang, Jawa Timur 5 Agustus 1961 ini.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia menyebutkan tak ada partai politik Islam yang mendapat suara lebih dari lima persen apabila pemilihan umum digelar hari ini. Sejumlah survei lain juga menunjukkan tren penurunan suara partai Islam dan partai berbasis massa Islam. Bagaimana tanggapan Anda?
Pertama, survei itu dilakukan masih 15 bulan sebelum Pemilu 2014. Jadi itu menjadi early warning, peringatan, bagi partai-partai Islam. Kedua, partai Islam sudah memiliki captive market sehingga mereka tidak segera melangkah (mengumpulkan suara) dari sekarang. Mereka akan bergerak di last minute.
Tapi partai yang tidak punya captive market jelas akan bergerak dari jauh-jauh hari karena mengandalkan massa mengambang yang belum punya pilihan. Intinya wajar kalau 15 bulan sebelum Pemilu, kehadiran partai-partai Islam belum terasa, karena mereka memang belum bergerak.
Ketiga, survei kan lebih ke asumsi publik, tapi data empiriknya berbeda. Mari kita lihat data empirik dari tiga pemilu terakhir. Perolehan suara Partai Golkar misalnya dulu tidak pernah kurang dari 70 persen. Tapi Pemilu 1999 mereka mendapat 29,9 persen, lalu Pemilu 2004 cuma 21 persen, dan sekarang menurut survei 15 persen. Jadi sebetulnya partai mana yang suaranya drop?
Selanjutnya PDIP yang pada Pemilu 1999 mendapat suara sekitar 34 persen, lalu pada Pemilu 2004 menjadi 19 persen, dan menurut survei sekarang tinggal 14 persen. Mereka (Golkar dan PDIP) ini kan partai-partai berbasis nasionalis dan sosialis.
Bandingkan dengan PKS yang pada Pemilu 1999 mendapat 7 kursi di DPR, pada Pemilu 2004 mendapat 45 kursi, lalu pada Pemilu 2009 mendapat 57 kursi, dan pada Pemilu 2014 akan menembus peringkat tiga besar. Artinya bukan perolehan suara PKS yang turun kan? Bukan partai Islam yang suaranya turun.
Jadi Anda tak merasa suara partai Islam jeblok sebagaimana temuan sejumlah survei belakangan ini?
Faktanya tidak begitu.
Tapi tren survei menunjukkan raihan suara PKS pada setiap survei senantiasa turun dibandingkan capaian suara PKS pada Pemilu 2009 yang sekitar 7 persen?
Dulu pun PKS disurvei hanya memperoleh suara 2 persen pada Pemilu 2004, tapi ternyata kami mendapat 45 kursi di parlemen. Lalu disurvei lagi memperoleh suara kurang dari 3 persen pada Pemilu 2009, tapi ternyata PKS dapat 57 kursi. Artinya perolehan suara riil kami 10 persen lebih.
Kesimpulannya, masing-masing partai punya segmen market sendiri, dan punya cara sendiri untuk mengatasi masalah lapangan. Soal hasil survei yang kami baca saat ini, kami jadikan sebagai pemicu untuk menata kinerja ke depan.
Apa segmen market PKS yang belum digarap?
Sudah pasti PKS akan ekspansi ke swing voters dan floating mass. Yang diperebutkan partai-partai sekarang ini kan floating mass. Jadi captive market PKS tidak akan berubah, sementara PKS juga akan merambah ke floating mass. Hasil survei itu kami jadikan sarana untuk meningkatkan militansi kader untuk bekerja. Kalau orang lain menilai PKS begini (elektabilitasnya turun), maka kami jawab dengan kerja lapangan.
Menurut Anda apakah betul ideologi Islam sudah tak laku lagi seperti pada temuan survei?
Kalau itu benar, tentu PDIP tak akan bikin ormas Islam (Baitul Muslimin), tentu Golkar tak akan mendatangi dan membesarkan ormas Islam. Jadi itu (ideologi Islam sudah tak laku) hanya asumsi yang berada pada margin of error yang disebutkan sebesar dua koma sekian hingga tiga persen. Ideologi Islam tak laku? Itu kesimpulan terlalu dini.
Jika dilihat dari capaian PKS pada Pemilu 2009, perolehan suara PKS cenderung stagnan dibanding pada Pemilu 2004?
Pemilu 2004 kami dapat 45 kursi, Pemilu 2009 dapat 57 kursi. Kami satu-satunya partai yang kursinya di parlemen bertambah selain Demokrat. Partai-partai lain di luar PKS dan Demokrat, tidak ada yang kursinya bertambah, semua turun. Jadi membaca hasil survei harus komparatif.
Pemilu 2014 semakin dekat. Apa strategi PKS agar perolehan suaranya tidak turun dan bisa menang?
Itu rahasia dapur. Kami berterima kasih kepada lembaga survei yang telah mencambuk kami. Ini menjadi bahan buat kami untuk mencambuk struktur partai.
Berapa target perolehan suara PKS pada Pemilu 2014?
PKS pada Pemilu 2014 akan menembus tiga besar. Itu amanat Musyawarah Nasional PKS. Sekarang kan baru empat besar. Masalahnya, dengan amanat Munas itu, artinya PKS harus mengeliminasi satu dari tiga partai yang berada di peringkat teratas. Satu dari tiga partai itu harus angkat koper. Ini membuat suasana menghangat.
Siapa tokoh PKS yang berfungsi sebagai magnet untuk menarik massa pada Pemilu 2014, mengingat Hidayat Nur Wahid yang merupakan salah satu tokoh sentral PKS hanya meraih 11 persen perolehan suara pada Pilkada DKI Jakarta 2012 yang baru saja berlalu?
Jangan salah membacanya. Waktu yang dimiliki Pak Hidayat (untuk bersosialisasi) pada Pilkada DKI Jakarta hanya tiga bulan. Tiga bulan itu ia berhasil menjaga captive market-nya di bawah gerusan incumbent Fauzi Bowo dan popularitas Jokowi.
Bayangkan, popularitas Jokowi sudah dibangun berapa tahun secara nasional, sementara incumbent Foke juga sudah lima tahun dikenal masyarakat DKI Jakarta. Jadi, bisa bertahan saja (menjaga massa tradisionalnya) sudah menjadi salah satu indikator kemenangan. Kalau Pak Hidayat diberi waktu lebih, mungkin hasilnya lain.